Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman terhadap Petani dan Potensi Konflik Agraria dalam RUU Cipta Kerja

Kompas.com - 12/08/2020, 05:20 WIB
Irfan Kamil,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti sejumlah perubahan ketentuan dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah.

Sejumlah perubahan ketentuan dinilai mengancam kelangsungan hidup petani, memperparah konflik agraria, memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan dan praktik penggusuran demi investasi.

Perubahan ini terkait izin konversi tanah pertanian ke non-pertanian, penambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah, dan jangka waktu hak pengelolaan atas tanah.

Baca juga: Sekjen KPA: Kami Akan Turun ke Jalan, Pastikan DPR Tunduk pada Aspirasi Rakyat

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, ketentuan izin untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian makin dipermudah.

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 122 angka 1 RUU Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Menurut Dewi, perubahan tersebut dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian dan mengancam keberadaan kelompok petani.

"Demi investasi non-pertanian, RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan," kata Dewi saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/8/2020).

Penyusutan lahan pertanian

Dengan perubahan tersebut, kata Dewi, pemerintah dan perusahaan tak memiliki kewajiban terkait syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah.

Dampaknya, akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian terjadi secara cepat. Selain itu, kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani juga terhapus.

"Termasuk menghapus kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani terdampak," tutur dia.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ancam Keluarga Petani, Ini Selengkapnya...

Persoalan lain yang akan muncul yakni menyusutnya lahan pertanian. Dewi menyebut, satu rumah tangga petani hilang akibat konversi tanah dalam sepuluh tahun.

"Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja saja, tercatat dalam sepuluh tahun (2003–2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian, satu (satu) rumah tangga petani hilang," kata Dewi.

Berdasarkan catatan KPA, terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani sebesar 10,6 persen menjadi 4,9 persen.

Selain itu, laporan Kementerian Pertanian terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menyebutkan, luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi, mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu hektar per tahun.

"Artinya, jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi RUU Cipta Kerja, maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut," ujar Dewi.

"Begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni, tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus," ucapnya.

Kepentingan investasi

Hal lain yang disoroti, yakni tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah. Tambahan ini dikhawatirkan akan memperparah konflik agraria.

Pasal 121 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.

Kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden (PP).

Baca juga: Jokowi: Pembebasan Lahan Jadi Hambatan Terbesar Proyek Strategis Nasional

Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah.

“Atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, RUU Cipta Kerja akan memperparah konflik agaria, ketimpangan, perampasan dan penggusuran tanah masyarakat,” kata Dewi.

Menurut Dewi, argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan dan keluhan para investor terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan infrastruktur serta kegiatan bisnis.

“Lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah memperluas definisi kepentingan umum dengan menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) ke dalam kategori kepentingan umum,” ujar Dewi.

Dewi menekankan, pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur atau industri semata.

Namun, juga harus diperhitungkan dampak sistemik terkait degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi yang menjadi obyek pengadaan tanah serta masyarakat.

“Harus diingat, tanpa RUU Cipta Kerja pun, UU pengadaan tanah secara praktiknya telah mengakibatkan konflik agraria dan penggusuran,” tutur dia.

Baca juga: Menyoal Kebijakan Jokowi Buka Lahan Baru, dari Potensi Eksploitasi hingga Konflik Agraria

Lebih lanjut, Dewi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan berkeadilan.

Sebab, kata Dewi, proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian dijalankan secara tidak transparan dan tidak berkeadilan.

Bahkan, ia mengatakan, tidak sedikit terjadi unsur pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat yang tanahnya menjadi target pembebasan. Selain itu, peran dan kewenangan swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan.

“Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan, karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosesnya dititipkan di Pengadilan Negeri sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat,” tutur Dewi.

Aksi Petani Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Depan Gedung DPR RI, Jakarta (16/7/2020).DOK/Konsorsium Pembaruan Agraria Aksi Petani Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Depan Gedung DPR RI, Jakarta (16/7/2020).

Jangka waktu hak pengelolaan 90 tahun 

Selain itu, Dewi mengkritik perubahan ketentuan jangka waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan.

Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hak pengelolaan ini dapat berupa hak guna usaha ( HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP).

Sedangkan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur bahwa jangka waktu HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang memenuhi persyaratan.

Baca juga: Omnibus Law Atur HGU 90 Tahun, KPA: Lebih Parah dari Masa Penjajahan

"Pada masa penjajahan saja pemberian konsesi pada perkebunan Belanda hanya 75 tahun," ujar Dewi.

“Sekarang RUU Cipta Kerja mau menjadikan HGU berumur 90 tahun, lebih parah dibanding saat kita masih dijajah,” ungkapnya.

Dewi juga menyoroti kewenangan pemerintah pusat yang bisa menerbitkan jenis-jenis hak baru di atas hak pengelolaan.

Sebab, hak pengelolaan dapat dikonversi menjadi HGU, HGB dan HP bagi kepentingan pemodal.

Dewi menilai, ketentuan ini merupakan bentuk penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

“Tiba-tiba dengan dalih menciptakan norma baru, hak pengelolaan ini seolah menjadi jenis hak baru yang begitu powerful, yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah,” tutur dia.

Jika ketentuan soal hak pengelolaan atas tanah tersebut disahkan, Dewi khawatir ketimpangan penguasaan tanah akan semakin besar.

Kemudian, korporasi akan semakin mudah untuk melakukan praktik monopoli, karena jangka waktu hak pengelolaan atas tanah yang sangat lama.

Baca juga: Menteri ATR/BPN: Regulasi Investasi Properti Harus Diubah

“Ini cara memutar tersembunyi pemerintah, yang ingin kembali memprioritaskan HGU, HGB, HP untuk investor besar, di tengah ketimpangan penguasaan tanah akibat monopoli perusahaan yang sudah terjadi,” kata Dewi.

Dewi pun menekankan bahwa ketentuan soal jangka waktu hak pengelolaan atas tanah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007.

Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun.

“Pasal 22 ini telah diputuskan ditolak karena melanggar Konstitusi,” ucapnya.

Eksploitasi oleh kepentingan modal

Sebelumnya, anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo menyatakan tak sepakat dengan ketentuan Pasal 127 RUU Cipta Kerja.

Arif menilai, aturan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Baca juga: HGU hingga 90 Tahun di RUU Cipta Kerja, Politisi PDI-P: Eksploitasi terhadap Negara

"Saya enggak setuju, karena bertentangan dengan UUPA yang artinya adalah eksploitasi terhadap negara dan rakyat serta mengabdi kepada kepentingan modal," kata Arif, Kamis (30/4/2020).

Arif meminta, perpanjangan HGU tetap mengacu pada UUPA, yaitu paling lama 25 tahun atau dapat diperpanjang hingga 35 tahun.

Kemudian, ia meminta kebijakan HGU yang saat ini diterapkan di Indonesia dievaluasi agar lebih berorientasi pada pemanfaatan tanah yang adil.

"Jelas bertentangan dengan ideologi dan politik agraria nasional kita. Kembalikan kepada UUPA agar lebih berorientasi kepada pemanfaatan tanah secara adil dan peduli sosial," ujar Arif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com