JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah membantah seluruh dalil pemohon uji materi Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bantahan itu disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto yang hadir menyampaikan keterangan pemerintah/presiden dalam persidangan yang digelar Selasa (11/8/2020).
"(Meminta MK) menolak permohonan pengujian para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para pemohon tidak dapat diterima," kata Yuri di Gedung MK, Jakarta Pusat, dipantau melalui siaran langsung YouTube MK RI, Selasa.
Baca juga: Jadi Korban PHK, Warga Asal Bantul Gugat UU BPJS ke MK
Pasal 9 Ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular berbunyi "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya".
Pemohon yang merupakan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) meminta MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang kata "dapat" tak dimaknai sebagai "wajib".
Sementara itu, menurut pemerintah, keliru jika memaknai frasa "dapat" sebagai "wajib".
Sebab, pemberian penghargaan sifatnya khusus hanya diberikan kepada petugas kesehatan yang ikut menanggulangi wabah.
Bahwa tanpa adanya norma "wajib", kata Yurianto, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang ikut menangani pandemi.
"Bahwa pemberian penghargaan bukan merupakan maksud dan tujuan utama dari UU Wabah Penyakit Menular karena maksud dan tujuan UU Wabah Penyakit Menular sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah secara dini," ucap Yuri.
Pemerintah juga berpandangan, pemohon tidak dirugikan atas berlakunya pasal tersebut.
Justru, dengan ketentuan itu pemohon punya kesempatan menerima penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugas
"Sekiranya para pemohon merasa dirugikan oleh karena ketentuan a quo, maka justru menimbulkan ketidakjelasan yaitu dalam konteks apa para pemohon merasa dirugikan? Apakah karena tidak mendapatkan penghargaan? Ataukah karena tidak ada kesempatan untuk mendapatkan penghargaan?" ujar Yuri.
Baca juga: Senin Ini MK Kembali Gelar Sidang Setelah Dua Pekan Ditiadakan
Sementara itu, Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan berbunyi, "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan".
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa "ketersediaan sumber daya yang diperlukan" tidak dimaknai sebagai ketersediaan APD, insentif bagi tenaga yang menangani pandemi, santunan bagi keluarga tenaga kesehatan yang gugur, dan sumber daya pemeriksaan Covid-19 yang cukup.
Pemerintah berpandangan, petitum tersebut justru menimbulkan potensi tumpang tindih aturan.