Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pro dan Kontra Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

Kompas.com - 11/08/2020, 09:51 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam upaya pemberantasan terorisme menuai pro dan kontra.

Seperti diketahui, pemerintah telah merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Draf itu juga disebut telah diserahkan kepada DPR beberapa waktu lalu untuk dapat dibahas secara bersama-sama. Sejumlah pihak pun berharap agar pembahasan draf ini dapat dilaksanakan secara terbuka.

"Rancangannya sudah jadi, sudah ke DPR. Perdebatan cukup seru," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD seperti dilansir dari Tribunnews.com, pada 29 Juli lalu.

Menurut Mahfud, pihaknya telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak, termasuk kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada saat menyusun rancangan peraturan tersebut.

Baca juga: Pemerintah Diminta Harmonisasi Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme

Tak hanya itu, ia menyebut, komunikasi juga dilakukan Kementerian Hukum dan HAM, untuk menyerap seluruh aspirasi dari berbagai pihak.

Kendati demikian, masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan.

"Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi," kata dia.

"Pada umumnya kita ajak diskusi, kita tunjukkan ini pasalnya bahwa pelibatan itu diperintahkan Undang-Undang (Nomor 5 Tahun 2018)," imbuh Mahfud, Sabtu (8/8/2020).

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengaku, belum menerima dan membaca raperpres tersebut. Ia menduga bahwa rancangan beleid itu masih berada di tangah pimpinan DPR.

Meski demikian, Meutya menambahkan, secara umum TNI memiliki wewenang untuk melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Salah satu wewenang yang diatur di dalam OMSP yaitu pemberantasan terorisme.

Baca juga: Komnas HAM Desak Pembahasan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Transparan

"Pada dasarnya pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme tertuang dalam UU TNI Pasal 7 ayat (2) tentang Pelaksanaan Tugas Pokok TNI melalui OMSP," kata Meutya saat dihubungi, Senin (10/8/2020).

Akan tetapi, ia menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam penumpasan terorisme harus berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.

Didesak terbuka

Di sisi lain, sejumlah kalangan mendesak agar pembahasan raperpres ini dilaksanakan secara terbuka.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, menyebut bahwa sejak wacana itu dimunculkan Kemenko Polhukam, sejumlah elemen masyarakat sipil telah menolaknya.

Penolakan muncul karena rancangan aturan tersebut dinilai berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

"Dalam konteks itu, seharusnya pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat," kata Direktur Imparsial Al Araf dalam keterangan tertulis, pada 2 Agustus lalu.

Ia pun mendesak agar pembahasan raperpres ini dilakukan secara transparan. Sehingga publik dapat berpartisipasi secara aktif untuk mengawasi setiap perkembangan pembahasan dan memberikan masukan yang konstruktif di dalam penyusunan raperpres tersebut.

"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan perpres tersebut secara terbuka," imbuh dia.

Desakan serupa juga disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, keterbukaan pembahasan raperpres tersebut telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Baca juga: Ketua Komisi I DPR Nilai Pelibatan TNI Atasi Terorisme Sesuai UU

Selain itu, keterbukaan tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratruan Perundang-Undangan.

"Meminta agar pembahasan terhadap rancangan perpres dilakukan secara terbuka dan transparan sebagai bagian dari proses pembentukan hukum yang menghormati hak partisipasi publik," ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan tertulis, Senin (10/8/2020).

Terbatas

Choirul menambahkan, peran TNI di dalam penanggulangan terorisme seharusnya hanya bersifat bantuan.

Pasalnya, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemberantasan terorisme perlu mengedepankan pendekatan penegakan hukum.

Oleh karena itu, ia berharap, penyusunan raperpres didasarkan pada kerangka sistem peradilan pidana atau criminal justice system, bukan model perang atau war model.

"Sehingga seharusnya bersifat ad hoc, didasarkan pada politik negara, dan anggaran dari APBN," katanya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni berpandangan, selama ini Polri sudah cukup baik dalam menjalankan tugasnya untuk menanggulangi persoalan terorisme.

Akan tetapi, bila nantinya TNI dilibatkan untuk mengatasi terorisme, sebaiknya hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu saja.

"Polisi sampai sekarang sudah bekerja sangat baik dan saya rasa sudah mumpuni. Namun, apabil pada kasus-kasus tertentu tenaga TNI dibutuhkan, ya oke-oke saja," kata Sahroni, Senin (10/8/2020).

Baca juga: Imparsial Sebut TNI Tak Perlu Dilibatkan Atasi Terorisme, Ini Alasannya

Hal senada disampaikan oleh Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri dan Ketua Setara Institute, Hendardi. Pelibatan TNI dalam pemberantasan teroris seharusnya dibatasi, sepanjang aparat penegak hukum masih mampu menangani persoalan tersebut.

"Imparsial menilai pelibatan militer dalam penangananan aksi terorisme merupakan pilihan terakhir, yakni dilakukan pada saat kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi terorisme," kata Ghufron.

Adapun Hendardi menuturkan, TNI dapat dilibatkan dalam penanggulangan terorisme apabila terjadi ekskalasi ancaman yang masuk dalam lingkup ancaman militer. Pengerahan TNI pun harus dijalankan dengan perintah otoritas politik.

"Karenanya, diperlukan definisi yang jelas tentang aksi terorisme yang menjadi tupoksi TNI dan tindak pidana terorisme yang menjadi ranah aparat penegak hukum, agar tidak terjadi potensi tumpang tindih peran," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, pada 3 Agustus lalu.

Pro dan kontra

Lebih jauh, Hendardi mengatakan, raperpres yang telah diajukan ke DPR itu berpotensi merusak desain reformasi di sektor keamanan yang sudah ada.

Setelah reformasi bergulir pada 1998, sudah ada pemisahan tugas dan wewenang antara TNI dan Polri, yaitu TNI sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai instrumen menjaga keamanan, menciptakan ketertiban dan penegakan hukum.

Ia khawatir, bila nantinya raperpres itu disahkan menjadi perpres akan mengakibatkan kemunduran di sektor ini. Sebab, dengan rancangan tersebut TNI dapat dengan leluasa menangkal, menindak, dan memulihkan tindak pidana terorisme.

Termasuk dalam hal ini mengakses APBD terkait terorisme, serta bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan ketika terjadi kekeliruan dalam penindakan kasus terorisme.

"Alih-alih menuntaskan reformasi sektor keamanan, kepemimpinan Jokowi justru terus-menerus memanjakan TNI dengan berbagai privilese pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas," kata Hendardi.

Baca juga: Mahfud: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Sudah Disampaikan ke Menkumham

Oleh sebab itu, ketegasan dalam pembatasan wewenang TNI dalam penanganan teroris harus diatur secara jelas di dalam raperpres.

"Pertama, tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme, fungsinya hanya penindakan," kata Al Araf.

Menurut dia, pembatasan itu hanya untuk, misalnya, menangani pembajakan pesawat, kapal atau aksi terorisme di kantor perwakilan negara sahabat.

Selain itu, ia menambahkan, TNI tidak perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme pada obyek vital strategis. Misalnya, dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden yang sifatnya harus aktual.

Selain itu, ekskalasi tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer, bukan pada kondisi tertib sipil.

Ia menambahkan, TNI juga tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme.

"Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan Perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM," katanya.

Di samping itu, ada lima catatan lain yang juga diberikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Pertama, penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara, yaitu keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR.

Hal itu sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan terakhir, yaitu dilakukan jika kapasitas aparat penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi tersebtu.

Ketiga, pelibatan TNI hanya bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu. Hal itu disebabkan tugas utama TNI adalah untuk menghadapi perang.

Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme Dikritik

Keempat, pelibatan TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Dalam hal ini, TNI yang terlibat pemberantasan teroris harus tunduk pada KUHAP, KUHP, dan UU HAM.

Terakhir, alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalu APBN. Mengingat, fungsi TNI yang bersifat terpusat.

Sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.

"Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing," jelas Araf.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com