Beban makin berat
Sebagai pemohon, KPCDI pun menyayangkan Putusan MA ini.
Menurut Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Hariyanto, dengan ditolaknya permohonan mereka, tertutup kemungkinan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Akibatnya, banyak rakyat yang ekonominya makin terbebani, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.
"Kami menyanyangkan putusan tersebut," kata Petrus kepada Kompas.com, Senin (10/8/2020).
"Kami harus menyatakan Putusan MA tidak memperhatikan situasi rakyat yg sedang tercekik hidupnya. Akan semakin berat menjalani situasi dalam pandemi Covid-19 ini," tuturnya.
Baca juga: MA Tolak Gugatan Pembatalan Kenaikan Tarif BPJS, Pemohon: Rakyat Semakin Berat
Menurut Petrus, tarif BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 masih terlalu mahal dan tak jauh beda dengan iuran yang ditetapkan dalam Perppres Nomor 75 Tahun 2019.
Padahal Perpres 75/2019 sebelumnya telah dibatalkan MA melalui putusan uji materi yang juga dimohonkan oleh KPCDI.
Melalui putusannya saat itu, MA juga meminta BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal dan eksternal. Tetapi, menurut Petrus, hal itu belum dilaksanakan.
"Jumlah iuran sangat tinggi sekali. Saya rasa tak terlalu beda Perpres 75 dan 64, sama-sama memberatkan masyarakat," ujarnya.
Baca juga: Rincian Iuran BPJS Kesehatan Terbaru Per 1 Juli 2020
Lebih lanjut, kenaikan tarif BPJS Kesehatan juga dinilai memberatkan pasien cuci darah. Bagi pasien miskin, membayar tarif BPJS Kesehatan yang lama sebelum dinaikkan pun sudah sulit.
Padahal, pasien cuci darah sangat membutuhkan BPJS Kesehatan demi kelangsungan hidup mereka.
"Kalau orang sehat gagal bayar iuran atau telat atau kartu BPJS tidak aktif bisa menunda berobat, bahkan kalau sehat kan tidak perlu berobat," ujar Petrus.
"Kami (pasien cuci daerah), kalau kartu tidak aktif, maka tdk bisa cuci darah, atau bayar sendiri. Absen dua kali cuci darah sudah banyak bukti akhirnya pasien meninggal," tuturnya.
Upaya terakhir