JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyoroti perolehan izin untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dinilai semakin mudah.
Hal itu, menurut Dewi, dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian di Indonesia dan mengancam keberadaan keluarga-keluarga petani.
Sebab, dalam RUU Cipta Kerja Pasal 122 angka 1 menghapus Pasal 44 ayat (3) UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan.
"Demi investasi non-pertanian, RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan," kata Dewi saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/8/2020).
Baca juga: Pimpinan dan Baleg DPR Diminta Cek Putusan MK Sebelum Sahkan RUU Cipta Kerja
"Ini dilakukan untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi," ujar dia.
Dengan perubahan tersebut, pemerintah dan perusahaan kehilangan kewajiban dalam syarat rencana tata ruang wilayah.
Selain itu, kata dia, kewajiban tanah pengganti bagi petani juga terhapus.
"Perubahan ini jika disahkan, maka menghilangkan kewajiban pemerintah dan perusahaan terkait syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia," ungkap Dewi.
Baca juga: Kelanjutan Nasib RUU Cipta Kerja, Mahfud: Pemerintah Sudah Punya Rumusan Baru
"Termasuk menghapus kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani terdampak," lanjut dia.
Dewi menyebut, tanpa RUU Cipta Kerja, satu rumah tangga petani hilang akibat konvensi tanah dalam sepuluh tahun.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan