JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengingatkan, Mahkamah Agung untuk tidak berlindung di balik Surat Edaran MA Nomor 4/2002.
Surat edaran tersebut mengatur tentang pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas yustisia tidak dapat diperiksa, baik sebagai saksi atau tersangka kecuali yang ditentukan oleh undang-undang.
"Kami memahami bahwa hadirnya SEMA Nomor 4 Tahun 2002 sebagai ekspresi untuk menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam kondisi ideal hal ini perlu didukung untuk tetap menjaga marwah peradilan yang bebas dan merdeka," kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Jumat (7/8/2020).
Hal itu ia sampaikan menanggapi pernyataan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa begitu saja memeriksa hakim bila merujuk SEMA tersebut.
Sebelumnya, KPK diketahui telah memeriksa sejumlah hakim menyusul penangkapan mantan Sekretaris Jenderal MA, Nurhadi. Beberapa di antaranya merupakan Hakim Agung.
Menurut Erasmus, seorang hakim dapat tidak memenuhi panggilan pemeriksaan apabila berkaitan dengan tugas yudisial hakim, yaitu menyangkut perkara yang sudah diputus maupun yang masih dalam proses pemeriksaan pengadilan. Oleh karena itu koordinasi dengan MA dapat menjadi alasan yang rasional.
"Namun, bukan berarti prosedur itu dapat dijadikan alasan untuk menghambat pemeriksaan yang dilakukan oleh aprarat penegak hukum dalam hal ini KPK, terutama terhadap untuk kasus korupsi yang memiliki sifat terorganisir dan sistematis," ujarnya.
"MA harus tetap berkomitmen mempermudah penegakan hukum sembari juga memastikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara," imbuh dia.
Selain itu, ia menambahkan, MA seharusnya mendukung langkah KPK. Sepanjang, pemanggilan yang dilakukan tidak berkaitan dengan putusan pengadilan, melainkan terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Nurhadi.
"MA memang harus memastikan tidak ada intervensi terhadap tubuh peradilan, namun MA juga tidak bisa serta merta menggunakan SEMA sebagai justifikasi untuk menolak pemanggilan dari lembaga antikorupsi tersebut," ujarnya.
"Mengingat juga bahwa tindakan korupsi Nurhadi dan pihak-pihak yang diduga terlibat di dalamnya tentu saja bukan lagi soal tugas yudisial dari Mahkamah Agung," sambung Erasmus.
Diketahui, KPK menetapkan Nurhadi; menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra, Soenjoto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.
Baca juga: MA Diminta Dukung Pengusutan Kasus Nurhadi oleh KPK
Nurhadi dan Rezky ditangkap KPK Senin (1/6/2020) lalu usai buron, sedangkan Hiendra masih diburu KPK.
Dalam kasus ini, Nurhadi melalui Rezky diduga telah menerima suap beserta gratifikasi dengan nilai mencapai Rp 46 miliar.
Menurut KPK, ada tiga perkara yang menjadi sumber suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi yakni, perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT dan gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.
Dalam perkara PT MIT vs PT KBN, Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.