Selain itu, telatnya pelaporan juga bisa disebabkan karena korban mendapat ancaman dari pelaku kekerasan seksual.
Namun, pada saat korban menutuskan untuk melapor ke polisi, alat bukti yang melekat pada tubuh sudah menghilang.
"Sehingga itu menjadi akan menghambat dalam proses penangana perkaranya," ungkapnya.
Baca juga: Kementerian PPPA Dorong RUU PKS Masuk Prolegnas 2021 dan Disahkan
Tantangan lainnya dalam penanganan perkara kekerasan seksual lain yang harus diperhatikan adalah perbedaan pandangan dari aparat penegak hukum dalam menafsirkan undang-undang.
Kemudian, keterbatasan layanan/teknis kesehatan terutama dalam mendukung pembuktian perkara dan pembiayaan belum jelas.
Keterbatasan dokter, psikolog, pekerja sosial, pendamping hukum. Lalu, sarana dan prasarana pengamanan terhadap korban belum terpenuhi, serta sumber daya manusia yang belum responsif gender.
Kendati banyak pihak mendesak untuk disahkan, RUU PKS malah tak ada lagi di daftar Program Legislasi Nasional (Polegnas) Prioritas 2020.
Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan.
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Baleg DPR, Selasa (30/6/2020).
Baca juga: Kultur Kekerasan dan Urgensi Pengesahan RUU PKS
Dihubungi seusai rapat, ia menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.
Marwan mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan masih menjadi perdebatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.