"Lingkungan terdekatnya masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal. Karena dianggap sebagai aib," ujar dia.
Selain itu, lanjut Livia, lingkungan pendidikan dan atau pekerjaan korban juga kerap tidak memberikan dukungan.
Bahkan, korban dan keluarga mengeluarkan biaya-biaya yang sering kali memengaruhi kondisi ekonomi.
Di kesempatan yang sama, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengatakan, sejak 2017 hingga 2020 kasus kekerasan seksual didominasi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) dan persetubuhan.
"Mulai dari kasus KDRT yang menonjol dan persetubuhan. Ini sangat menonjol," kata Ema
Ema mengatakan, pada 2017 pihaknya menangani 5.065 kasus KDRT, 2.511 kasus persetubuhan, dan 2.981 kasus pencabulan.
Kemudian, pada 2018, ada 4.637 kasus persetubuhan, 3.695 kasus KDRT, dan 966 pencabulan.
Baca juga: Politikus Nasdem Interupsi Paripurna, Minta RUU PKS Masuk Prolegnas Prioritas 2020
Sementara itu, pada 2019, terjadi 5.591 kasus persetubuhan, 3.796 kasus KDRT, dan 981 kasus pencabulan.
Pada 2020, Bareskrim menangani 2.834 kasus prsetubuhan, 1.804 kasus KDRT, dan 1.518 kasus pencabulan.
"Itu adalah data kasus yang ditangani oleh kami peroleh khususnya Dir PPA di 2017 sampai 2020 bulan Juni," ujar dia.
Ema Rahmawati melanjutkan, tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak yakni pada proses pembuktian.
Menurut dia, salah satu penyebab sulit dibuktikannya kasus kekerasan seksual karena telatnya pelaporan yang dilakukan oleh korban.
"Pembuktian kasus kekerasan seksual ini ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi kami," lanjutnya.
Ia mengatakan, terkadang korban telat melapor karena pelaku berasal dari lingkungan keluarga.
Sehingga, hal itu membuat alat bukti tindak kekerasan seksual yang melekat di tubuh hilang.