JAKARTA, KOMPAS.com - Nama besar Cornelis Lay sudah tidak asing lagi di lingkungan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol).
Puluhan tahun mengajar ilmu politik dan pemerintahan, Cornelis tutup usia pada Rabu (5/8/2020) dini hari.
Guru Besar itu pergi menyisakan banyak kenangan bagi para sahabatnya, salah satunya Abdul Gaffar Karim.
Dosen Fisipol UGM ini mengenang Cornelis sebagai sosok senior yang dekat dengan semua orang.
Cony, begitu Cornelis biasa disapa, dikenal sangat egaliter dan mudah bergaul.
"Kita tahu pergaulannya sangat luas, jejaringnya sangat luas, dan dia adalah orang yang tidak menempatkan diri lebih tinggi dari junior-juniornya," kata Gaffar kepada Kompas.com, Rabu.
Baca juga: Tutup Usia, Berikut Sekilas tentang Sosok Guru Besar Fisipol UGM Cornelis Lay
Bagi Gaffar pribadi, Cornelis banyak membantu dia menghadapi masa-masa awal menjadi dosen.
Cornelis kerap mengajak Gaffar ikut ke kelas tempat Cornelis mengajar.
Pada suatu waktu, seorang mahasiswa bertanya ke Cornelis mengenai perbedaan Revolusi Hatta dengan Revolusi Soekarno.
Tiba-tiba saja Cornelis meminta Gaffar menjawab dan menjelaskannya ke mahasiswa.
Gugup dan takut, Gaffar mengikuti permintaan Cornelis.
Untuk pertama kalinya ia berbicara di hadapan mahasiswa sebagai dosen.
Dari situ, Cornelis kemudian memberikan evaluasi dan saran untuk Gaffar mengajar lebih baik.
"Kata-kata dia waktu itu exactly, intelektual boleh salah tapi tidak boleh bohong. Jadi kalau tidak tahu jangan berlagak tahu di kelas, katakan tidak tahu. Kalau tahu betul tekankan, beri otoritas di kata-kata," kenang Gaffar.
"Jadi dalam 1 hari itu saja saya jadi melihat urusan mengajar itu dengan cara yang sangat berbeda, dan itulah pondasi cara saya mengajar," tuturnya.
Baca juga: Cornelis Lay Meninggal, Presiden Joko Widodo hingga Ganjar Pranowo Kirim Karangan Bunga