Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 05/08/2020, 16:59 WIB
Penulis Ihsanuddin
|

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Berkarya pecah. Partai politik yang baru berdiri pada 2016 lalu itu kini terbagi ke dalam dua kepengurusan, yakni yang dipimpin Tommy Soeharto dan Muchdi PR.

Belakangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memilih mengesahkan Partai Berkarya yang dipimpin Muchdi PR.

Namun, bukan Partai Berkarya saja yang mengalami perpecahan di era Presiden Joko Widodo.

Sebelumnya, ada tiga partai lain yang mengalami nasib serupa, mulai dari Golkar, PPP hingga Hanura.

Berikut rangkumannya:

Golkar

Konflik Partai Golkar dimulai sejak akhir 2014 lalu, tak lama setelah Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Saat itu, Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum untuk kedua kalinya dalam Musyawarah Nasional di Bali. Namun, kader yang tak terima dengan hasil Munas tersebut membuat Munas tandingan di kawasan Ancol, Jakarta.

Dalam Munas Ancol, terpilih Agung Laksono sebagai ketua umum.

Baca juga: Kemenkumham Sahkan Partai Berkarya Kubu Muchdi Pr, Pengamat: Biasanya yang Kritik Pemerintah Tersingkir

Pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono.

Saat itu, Golkar kubu Agung memang menyatakan dukungan untuk pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara Golkar kubu Aburizal memilih sebagai oposisi.

Namun konflik tak berhenti pasca keluarnya SK Menkumham. Kubu Aburizal menggugat SK tersebut ke PTUN. Sejak saat itu terjadi konflik berkepanjangan antara dua kubu.

Namun akhirnya kubu Aburizal dan Agung sepakat untuk berdamai dan bersama-sama menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa pada pertengahan tahun 2016.

Baca juga: Partai Berkarya Kubu Muchdi Terima SK Pengesahan Kepengurusan Kemenkumham

Dualisme kepemimpinan ini pun akhirnya berakhir pada 17 Mei 2016 setelah Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar yang baru.

Setya Novanto pun membawa Golkar mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

PPP

Perpecahan di PPP muncul sejak 2014, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Umum PPP saat itu, Suryadharma Ali, sebagai tersangka korupsi penyelanggaraan ibadah haji.

Pengurus Pusat yang diinisiasi Romahurmuziy atau Rommy sebagai sekretaris jenderal saat itu memecat Suryadharma. Namun Suryadharma tak terima dan balik memecat Rommy.

Kubu Rommy kemudian menggelar Muktamar di Surabaya. Hasilnya, Rommy terpilih sebagai ketua umum.

Baca juga: Fakta-fakta Konflik Hanura Kubu OSO Vs Wiranto Sepanjang 2019

Berbeda dengan Suryadharma yang memilih oposisi, Rommy membawa PPP mendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Namun, kubu Suryadharma juga menggelar Muktamar di Jakarta dengan Djan Faridz terpilih sebagai ketua umum.

Sejak saat itu, terjadi konflik berkepanjangan di tubuh PPP.

Meski telah melalui berbagai jalur hukum, kedua kubu masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah.

Kendati demikian, pemerintah lebih memilih mengesahkan PPP yang dipimpin Rommy.

PPP Kubu Rommy juga yang diakui sebagai peserta pilkada 2017.

Baca juga: Suharso: Mbah Moen Minta Muktamar Kubu Suryadharma Dihentikan

Konflik di tubuh partai berlambang Ka'bah perlahan mulai melunak setelah Rommy ditangkap KPK pada Maret 2019 dan digantikan oleh Suharso Monoarfa.

Anggota PPP kubu Djan Faridz perlahan-lahan mulai mengakui dan melebur ke PPP pimpinan Suharso.

Hanura

Konflik Hanura dimulai pada awal 2018. Perpecahan bermula saat Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) memecat sekjennya Syarifuddin Sudding.

Ia mengaku memecat Sudding karena masalah disiplin organisasi. Namun, OSO tak membicarakan lebih jauh pelanggaran disiplin yang dimaksud.

Sementara itu, pengurus Partai Hanura yang dimotori Sudding juga memecat OSO dari posisi ketua umum.

Sudding mengklaim langkah ini diambil berdasarkan mosi tidak percaya dari 27 DPD dan lebih dari 400 DPC.

Baca juga: Kubu Sudding Ungkap Modus Oesman Sapta Minta Mahar ke Calon Kepala Daerah

OSO disebut kerap mengambil keputusan yang dilakukan semena-mana, tidak mengacu pada AD/ART partai.

Selain itu, ada juga tudingan bahwa OSO meminta mahar kepada calon kepala daerah yang akan diusung di Pilkada.

Pemecatan OSO itu ditetapkan dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang digelar pada 18 Januari 2018 di kantor DPP Hanura, Cilangkap, Jakarta Timur.

Badan Pengurus Harian (BPH) Partai Hanura kemudian Marsekal Madya (Purn) Daryatmo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum.

Namun, SK Kepengurusan Menkumham jatuh ke tangan OSO.

Baca juga: Jika KPU Tak Ikuti Putusan PTUN, Kubu OSO Minta Presiden dan DPR Turun Tangan

Pada akhirnya, kepengurusan Partai Hanura di bawah kepemimpinan OSO yang menjadi peserta Pemilu 2019.

Kendati demikian, Hanura gagal lolos ke parlemen karena tak mencapai ambang batas parlemen.

Adapun, Sarifuddin Suding pada Pemilu 2019 maju lewat Partai Amanat Nasional dan terpilih sebagai anggota DPR.

Partai Berkarya

Partai Berkarya pecah setelah sejumlah kader menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 11 Juli 2020.

Munaslub itu melahirkan Muchdi Purwoprandjono sebagai ketua umum dan Badaruddin Andi Picunang sebagai sekretaris jenderal.

Baca juga: Ketua DPP Berkarya: Jika Hasil Munaslub Muchdi PR Disahkan Kemenkumham, Berarti Ada Tangan Gaib

Bahdaruddin mengklaim pelaksanaan Munaslub yang digelar Presidium Penyelamat Partai adalah legal atau resmi.

Namun, kubu Tommy Soeharto menolak hasil Munaslub tersebut.

Ketua DPP Partai Berkarya (kubu Tommy) Vasco Ruseimy mengatakan, Munaslub yang digelar Presidium Penyelamat Partai itu ilegal.

Sebab seluruh kader yang tergabung di dalamnya, termasuk Muchdi, telah diberhentikan dari partai.

Pemberhentian itu diputuskan dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Berkarya yang digelar 8 Juli.

Baca juga: Kubu Muchdi PR Sebut Munaslub Partai Berkarya Resmi dan Legal

Namun, Menteri Hukum dan HAM akhirnya mengesahkan Partai Berkarya kepengurusan Muchdi Pr dan Badarudin.

 

Badaruddin mengatakan, SK tersebut diterbitkan Kemenkumham pada 30 Juli 2020 dengan Nomor M.HH-17.AH.11.01 TAHUN 2020.

Sebelum dualisme ini terjadi, Tommy Soeharto dan Muchdi Pr memang sempat mengalami perbedaan pandangan dalam pilpres 2019.

Saat itu, Tommy membawa partainya mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun Muchdi justru mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

KPU Bakal Jalankan Putusan Bawaslu untuk Verifikasi Administrasi Ulang Partai Prima

KPU Bakal Jalankan Putusan Bawaslu untuk Verifikasi Administrasi Ulang Partai Prima

Nasional
Proses di MKMK Beres, Jokowi Diminta Izinkan Hakim MK Diperiksa Polisi

Proses di MKMK Beres, Jokowi Diminta Izinkan Hakim MK Diperiksa Polisi

Nasional
Prima Optimistis Bisa Ikut Pemilu 2024 setelah Gugatannya Dikabulkan Bawaslu

Prima Optimistis Bisa Ikut Pemilu 2024 setelah Gugatannya Dikabulkan Bawaslu

Nasional
Hakim Guntur Hamzah Disanksi, MKMK Sebut Perubahan Substansi Putusan Wajar

Hakim Guntur Hamzah Disanksi, MKMK Sebut Perubahan Substansi Putusan Wajar

Nasional
Menangkan Gugatan Prima, Bawaslu Minta KPU Buka Akses Sipol

Menangkan Gugatan Prima, Bawaslu Minta KPU Buka Akses Sipol

Nasional
KPK Imbau Rafael Alun Trisambodo Tak Kabur ke Luar Negeri

KPK Imbau Rafael Alun Trisambodo Tak Kabur ke Luar Negeri

Nasional
MKMK: Tiada Persekongkolan pada Pelanggaran Etik Guntur Hamzah

MKMK: Tiada Persekongkolan pada Pelanggaran Etik Guntur Hamzah

Nasional
Wacana Duet Prabowo-Ganjar, Sandiaga Uno Justru Dinilai Paling Ideal Jadi Cawapres

Wacana Duet Prabowo-Ganjar, Sandiaga Uno Justru Dinilai Paling Ideal Jadi Cawapres

Nasional
Polisi Sebut Buron Jepang Yusuke Yamazaki Berada di Jakarta

Polisi Sebut Buron Jepang Yusuke Yamazaki Berada di Jakarta

Nasional
PDI-P Lantik Kepala LKPP dan Anak Olly Dondokambey jadi Pimpinan Taruna Merah Putih

PDI-P Lantik Kepala LKPP dan Anak Olly Dondokambey jadi Pimpinan Taruna Merah Putih

Nasional
'DPR Harusnya Malu, Hakim MK yang Mereka Tunjuk Langgar Etik 6 Jam Usai Dilantik'

"DPR Harusnya Malu, Hakim MK yang Mereka Tunjuk Langgar Etik 6 Jam Usai Dilantik"

Nasional
Langsung Jadi Komisaris Mandiri Usai Mundur dari Menpora, Zainudin Amali: Enggak Masalah, Kenapa?

Langsung Jadi Komisaris Mandiri Usai Mundur dari Menpora, Zainudin Amali: Enggak Masalah, Kenapa?

Nasional
Wiranto Tunda Bergabung, PAN Buka Suara

Wiranto Tunda Bergabung, PAN Buka Suara

Nasional
Para Istri Pejabat yang Gemar 'Flexing' Berujung Dibongkar 'Netizen'

Para Istri Pejabat yang Gemar "Flexing" Berujung Dibongkar "Netizen"

Nasional
Wamenkumham: Pejabat yang Diadukan Harus Kalrifikasi, Bukan Lapor Balik ke Bareskrim

Wamenkumham: Pejabat yang Diadukan Harus Kalrifikasi, Bukan Lapor Balik ke Bareskrim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke