JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat Musdalifah Jamal mengungkapkan, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Makassar, Sulawesi Selatan, tak siap ketika ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dideportasi dari Sabah, Malaysia.
Menurut Musdalifah, ketidaksiapan tersebut terlihat dengan tidak adanya fasilitas kesehatan. Padahal, sejumlah migran tersebut dideportasi dalam kondisi sakit.
"Tidak tersedia fasilitas pengobatan di tempat penampungan BP3TKI di Makassar, padahal banyak deportan yang mengalami sakit," ujar Musdalifah dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).
Selain itu, lanjut Musdalifah, BP3TKI juga tidak tersedia layanan penanganan kesehatan mental.
Baca juga: BP3TKI :TKW Korban Kebakaran yang Meninggal di Saudi Diduga Ilegal
Ia mengatakan, sejumlah migran mengalami depresi dan trauma usai menjalani penahanan keimigrasian di Pusat Tahanan Sementara (PTS) Sabah, Malaysia.
Hal itu juga diperparah dengan kapasitas BP3TKI yang tak mampu menampung para migran.
"Juga tidak tersedia fasilitas untuk anak-anak dan deportan berkebutuhan khusus di tempat penampungan BP3TKI," katanya.
Menurut Musdalifah, permasalahan yang dialami para migran Indonesia semakin karena setibanya di Tanah Air tak kunjung mendapat penanganan yang cepat.
Baca juga: Banyak TKI Ilegal asal NTT di Malaysia, BP3TKI Kupang Bangun Rumah Informasi Migrasi Aman
Misalnya, para migran yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mereka kesulitan untuk pulang ke kampung halaman karena lemahnya koordinasi antar instansi.
"Sehingga proses pemulangan ke kampung asal berlarut-larut, khususnya untuk deportan asal NTT," kata dia.
Musdalifah menambahkan, kondisi itu diperparah karena deportan tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai proses pemulangan dan pembuatan dokumentasi yang diperlukan.
Baca juga: Kasus WNI Sembunyi di Roda Pesawat di Bandara Penang, BP3TKI Akui Tak Bisa Berbuat Banyak
Diberitakan sebelumnya, Koalisi Buruh Migran Berdaulat melaporkan ribuan pekerja migran Indonesia (PMI) tak berdokumen sempat ditahan di Pusat Tahanan Sementara (PTS), Sabah, Malaysia, sebelum akhirnya dideportasi ke Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
Laporan tersebut disusun Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat sejak Mei hingga Juli 2020 dengan mewancarai 33 migran yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Deportan, beberapa statement yang kami wawancarai, mayoritas diberlakukan seperti binatang," ujar Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat, Musdalifah Jamal dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/7/2020).
Musdalifah menjelaskan, mereka ditahan di PTS Sabah sejak Desember 2019 dan baru dibebaskan pada Juni 2020.
Baca juga: BP3TKI Nunukan Pulangkan 13 TKI yang Selamat dari Kecelakaan Kapal
Dalam temuannya, para migran menjalani penahanan di PTS Sabah dengan perlakuan tidak manusiawi. Pasalnya, penahanan yang berkepanjangan telah merenggut kebebasan tanpa alasan terhadap ribuan deportan.
Bahkan, perlakuan tidak manusiawi tersebut juga dialami perempuan dan anak, termasuk perempuan hamil.
"Sehingga menghasilkan dampak berlapis," kata dia.
Dalam temuan lainnya, para migran ternyata ditahan dalam kondisi kesehatan yang buruk, termasuk menyangkut permasalahan kejiwaan dan tekanan mental.
Musdalifah mengungkapkan, mayoritas migran yang ditahan mengalami penyakit kulit akut.
Baca juga: 8 TKI Deportasi dari Malaysia Kabur Saat Akan Didata BP3TKI
Menurut Musdalifah, kondisi PTS Sabah juga minim akses air bersih dan makanan yang layak. Sebab, beberapa makanan yang diberikan petugas kerap dalam kondisi basi dan tercampur rumput.
Ia juga menyesalkan, periode penahanan di PTS lebih lama dari hukuman resmi penjara. Seharusnya, beberapa deportan sudah dilepaskan sejak Januari hingga Februari.
"Tetapi banyak dari mereka yang dibebaskan, dideportasi pada Juni hingga Juli. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana surat yang dikeluarkan oleh Gubernur Kalimantan Utara terkait dengan proses penundaan sementara deportasi," terang dia.
Selain itu, keluarga migran yang sama-sama ditahan tidak dapat bertemu dan berkomunikasi di PTS Sabah.
Baca juga: BP3TKI Nunukan Tunggak Biaya Tes Kesehatan TKI Rp 460 Juta
Musdalifah juga mendapati temuan, bahwa PTS Sabah menjadi sarana berbisnis dan pemerasan terhadap pekerja migran tidak berdokumen.
"Beberapa deportan mengatakan pengiriman uang dikirimkan oleh kerabat atau keluarganya itu sering dipotong oleh petugas PTS. Begitu pun ketika keluarganya mengirim makanan, makanan yang sampai di deportan hanya sampai setengahnya karena diambil petugas PTS," ungkapnya.
Adapun metodologi pencarian fakta tersebut dilakukan dengan cara melakukan penelusuran lapangan sejak Mei hinhga Juli.
Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat juga melakukan wawancara terhadap 33 pekerja migran yang dideportasi dari Sabah. Yakni sebanyak 17 pria, 15 perempuan, dan 1 anak yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.