Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Kondisi Perempuan Kepala Keluarga Saat Pandemi...

Kompas.com - 04/08/2020, 07:29 WIB
Sania Mashabi,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah kepala keluarga perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan terutama di daerah konflik dan bencana.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020 tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga.

Adapun faktor penyebab perempuan menjadi kepala keluarga, salah satunya karena bercerai dengan suaminya.

Kemudian suami tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga.

Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran atau sakit.

Baca juga: Kepala Keluarga Perempuan Kesulitan Ekonomi, Kemensos Minta Pemda Perbaiki Data Penerima Bansos

Akan tetapi, mayoritas perempuan menjadi kepala rumah tangga karena suaminya meninggal sekitar 67,17 persen.

Sebagian dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan.

Data BPS yang sama menujukan 42,57 persen tidak punya ijazah, jumlah paling besar di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.

Kemudian sebanyak 26,19 persen berpendidikan sampai Sekolah Dasar (SD), 10,69 persen berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 20,55 persen hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) ke atas.

Tak dianggap

Menurut Mia Siscawati, dosen Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, kondisi ini diperparah karena perempuan yang jadi kepala keluarga itu sering dianggap tidak ada.

"Perempuan kepala keluarga sering dianggap tiada dalam beberapa konteks. Pada waktu tertentu, misalnya saat pemilu atau ada bantuan, mereka dibuat ada untuk menguntungkan pihak lain. Tapi itu bukan untuk mengakui keberadaannya," ujar Mia.

Para perempuan yang menjadi kepala keluarga memiliki latar belakang yang beragam, baik itu kelas ekonomi, kelas sosial, dan status perkawinan.

Baca juga: Kemensos Sebut Sudah Bantu Kepala Keluarga Perempuan Saat Pandemi Covid-19

Mereka memiliki beban yang berlapis dan mengalami banyak kesulitan. Para perempuan itu juga terkena dampak stigma negatif saat menggugat cerai.

Bahkan, ketika para perempuan menjadi pencari nafkah utama meski masih bersuami, mereka juga dianggap bukan kepala keluarga.

"Jadi mereka dianggap tak ada atau tak penting oleh komunitas. Negara pun tak melihat perempuan kepala keluarga sebagai warga negara yang menjadi subyek atas pengakuan dan perlindungan haknya," ucap Mia.

Situasi ini pun diperburuk saat terjadi pandemi Covid-19. Para perempuan ini tetap harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Dampaknya amat terasa bagi perempuan kepala keluarga. Sebab, mereka harus berjuang sendiri dalam situasi krisis," kata Direktur Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Nani Zulminarni.

Nani mengatakan, masih banyak juga kepala keluarga perempuan yang hidup dalam kemiskinan.

Penyebabnya karena ada konflik atau merantau. Kemudian perempuan yang dalam perkawinan tapi tak tercatat karena menikah siri.

Baca juga: Pandemi Covid-19, Kepala Keluarga Perempuan Disebut Kian Terpuruk

Ada juga perempuan menjadi kepala keluarga karena ditinggal suami dan rata-rata hidup dalam kemiskinan. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu keluarga.

"Mayoritas perempuan kepala keluarga berasal dari masyarakat menengah ke bawah dan berpendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan mereka umumnya bekerja di sektor informal seperti buruh tani pedagang kecil dan pekerja rumah tangga," ujarnya.

Ia melanjutkan, perempuan yang menjadi kepala keluarga banyak yang tidak tersentuh pemerintah.

BPS mendefinisikan kepala rumah tangga adalah orang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang yang dianggap atau ditunjuk sebagai kepala rumah tangga.

Sedangkan yayasannya mendeskripsikan perempuan kepala keluarga sebagai perempuan yang melaksanakan peran dan tanggungjawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan kehidupan, keluarga dan pengambil keputusan dalam keluarga.

Nani mengatakan, meski jumlah kepala keluarga perempuan cukup besar, namun pengakuan akan kepala keluarga perempuan masih jauh dari yang diharapkan.

Padahal, perempuan kepala keluarga tersebut bekerja untuk mencari nafkan bagi keluarganya. Bahkan stigma negatif akan janda masih tinggi.

"Stigma soal janda tidak berkurang masih kental di masyarakat," ucap Nani.

Sudah dibantu

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). Kunjungan Menaker tersebut guna memastikan pekerja perempuan pada sektor industri tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif serta untuk mengecek fasilitas laktasi dan perlindungan kesehatan bagi pekerja terutama saat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). Kunjungan Menaker tersebut guna memastikan pekerja perempuan pada sektor industri tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif serta untuk mengecek fasilitas laktasi dan perlindungan kesehatan bagi pekerja terutama saat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Melihat hal itu, Direktur Jaminan Sosial Keluarga Kementerian Sosial, Rachmat Koesnadi mengklaim bahwa pihaknya sudah memberi bantuan pada kepala keluarga perempuan yang terdampak pandemi Covid-19.

Bantuan itu, kata dia, diberikan melalui program keluarga harapan (PKH).

"Penerima program keluarga harapan itu ada 10 juta keluarga penerima manfaat. dan penerima bantuan adalah ibu-ibu, istri dari suami, atau dia single parents perempuan," kata Rachmat kepada Kompas.com, Senin (3/8/2020).

Rachmat mengatakan, nominal bantuan yang diterima diberikan berdasarkan komponen anggota keluarga yang ditanggung.

Mulai dari jumlah anak, kehamilan, hingga orang lanjut usia (lansia) yang termasuk dalam keluarga tersebut.

Baca juga: Melihat Kondisi Perempuan yang Berperan Jadi Kepala Rumah Tangga...

"Mereka menerima bantuan untuk mengurangi beban pengeluarannya dan penghasilan untuk keluarga," ujarnya.

Rachmat tidak bisa memastikan berapa banyak dan apakah semua kepala keluarga perempuan telah mendapat bantuan.

Namun, berdasarkan pengalamannya di lapangan, sudah ada juga kepala keluarga perempuan yang mendapat bantuan pemerintah melalui PKH.

"Di antara mereka kalau saya hitung banyak juga yang single parents tanpa ada suami," tuturnya.

Ia mengatakan, bisa saja ada kepala keluarga perempuan yang belum terakomodasi pemerintah melalui PKH.

Sebab, lanjut Rachmat, 10 juta penerima PKH hanya berasal dari keluarga sangat miskin dan miskin.

"Namun yang rentan dan rawan tidak masuk ke situ. Mungkin di situasi Covid-19 ini yang rentan dan rawan yang di antara 20 juta miskin atau sangat rawan miskin atau rentan miskin jadi akhirnya mereka tidak terambil," kata Rachmat.

"Tapi karena parahnya Covid-19 ini mungkin mengakibatkan mereka menjadi beban pengeluarannya menjadi lebih tinggi ya," ujar dia.

Kendati demikian, ia menegaskan 20 juta masyarakat yang masuk dalam golongan rentan miskin dan rawan miskin tetap mendapatkan bantuan sembako.

Selain itu, kata Rachmat pemerintah juga memiliki bantuan sosial (bansos) terkait pandemi Covid-19 yang rencananya akan diberikan hingga Desember 2020.

Ia mengatakan, penerima PKH tidak akan menerima bansos dari pemerintah.

"Bantuan pangan non tunai yang setiap bulannya dapatkan Rp 200.000 rupiah untuk membeli sembako," ujarnya.

Rachmat Koesnadi juga mengatakan, salah satu cara untuk meratakan pemberian bantuan untuk kepala keluarga perempuan dengan cara memperbaiki data penerima.

Perbaikan data itu, kata dia, dilakukan oleh pemerintah daerah.

Baca juga: Kepala Keluarga Perempuan Kesulitan Ekonomi, Kemensos Minta Pemda Perbaiki Data Penerima Bansos

"Perbaikin datanya (data penerima). Tapi memang yang paling repot verifikasi data. Dan pemerintah daerah harus melakukan itu (perbaikan dan verifikasi data)," kata Rachmat.

Rachmat mengatakan, perbaikan data diperlukan karena di masa pandemi Covid-19 mungkin ada keluarga rentan dan rawan miskin yang kini mengalami kesulitan ekonomi.

Sementara data penerima bantuan PKH hanya mengakomodir keluarga miskin dan sangat miskin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com