JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi mengkritik Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Dia menilai rancangan Perpres tersebut akan merusak desain reformasi sektor keamanan.
"Kepemimpinan nasional di bawah Jokowi-Maruf Amin akan menjadi kepemimpinan terlemah dalam menjalankan reformasi sektor keamanan karena merusak desain TNI dan Polri sebagaimana amanat reformasi," ujar Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Baca juga: Imparsial Sebut 6 Prinsip Ini Perlu Ditekankan dalam Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Menurut Hendardi, amanat reformasi telah meletakkan TNI sebagai alat pertahanan. Sedangkan, Polri sebagai instrumen menjaga keamanan, menciptakan ketertiban, dan penegakan hukum.
Oleh karena itu, agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran jika rancangan Perpres tersebut disahkan.
Sebab, rancangan tersebut akan menjadikan TNI leluasa menangkal, menindak, dan memulihkan tindak pidana terorisme.
Termasuk keleluasaan TNI mengakses APBD terkait terorisme, serta bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan manakala TNI keliru dalam melakukan penindakan terorisme.
"Alih-alih menuntaskan reformasi sektor keamanan, kepemimpinan Jokowi justru terus-menerus memanjakan TNI dengan berbagai privilese pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas," kata Hendardi.
Baca juga: Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme Didesak Terbuka
Hendardi menambahkan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, bahwa upaya penanganan terorisme perlu mengedepankan pendekatan penegakan hukum.
Sehingga, lanjut dia, seluruh unsur yang terlibat dalam penindakan harus dapat melakukan penyesuaian dengan sistem tersebut, terutama dalam hal pertanggungjawaban operasi dan perlindungan HAM.
Menurutnya, pelibatan TNI dimungkinkan pada tingkat tertentu, di mana eskalasi ancaman masuk dalam lingkup ancaman militer dan dijalankan dengan perintah otoritas politik.
"Karenanya, diperlukan definisi yang jelas tentang aksi terorisme yang menjadi tupoksi TNI dan tindak pidana terorisme yang menjadi ranah aparat penegak hukum, agar tidak terjadi potensi tumpang tindih peran," tegas Hendardi.
Baca juga: Draf Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme Dinilai Banyak Penyimpangan
Dikutip dari Tribunnews.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sudah selesai.
Selain itu ia juga mengatakan pemerintah juga telah berdiskusi dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Hal tersebut disampaikan Mahfud ketika berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan pada Rabu (29/7/2020).
"Rancangannya (Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme) sudah jadi, sudah ke DPR, perdebatan cukup seru. Kita juga sudah bicara dengan sejumlah kalangan, termasuk teman-teman LSM. Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi,” kata Mahfud dalam keterangan yang disampaikan Tim Humas Kemenko Polhukam pada Kamis (30/7/2020).
Baca juga: Komnas HAM: Perpres Pelibatan TNI Harus Terbuka dan Partisipatif