JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan, para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga memalsukan dokumen agar dapat mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural.
"Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO mempermudah para korban dipekerjakan," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Edwin menjelaskan pemalsuan dokumen tersebut meliputi KTP, paspor, dan buku pelayar umum dialami para korban perdagangan orang.
Terlebih, pada Juni 2020, Polda Metro Jaya juga mengungkap adanya pemalsuan sertifikat pelaut.
Baca juga: Penempatan Pekerja Migran Dibuka Lagi, RI Bisa Kantongi Devisa Rp 3,8 T
Hal itu juga semakin membuktikan bahwa pelaku TPPO menyasar pada pemalsuan dokumen para korbannya.
Ditambah, dari sekian banyak PMI yang mengalami kasus di luar negeri, hanya 25 persen yang diberangkatkan lewat agen resmi.
"Artinya, sebagian besar PMI yang bermasalah telah dimulai dari proses pengirimannya yang non-prosedural," kata Edwin.
Edwin menuturkan, berdasarkan penulusuran LPSK, alasan mereka menjadi PMI sendiri karena kurang mendapat kesempatan kerja di dalam negeri.
Tak hanya itu, mereka juga tergiur dengan upah yang lebih tinggi di luar negeri.
Baca juga: BP2MI Selamatkan Rp 13,73 Miliar Hak Pekerja Migran Indonesia
Dengan begitu, mereka beranggapan akan ada dampak positif terhadap aspek sosial ekonomi rumah tangga. Termasuk meningkatkan prospek kerja jangka panjang.
Diberitakan sebelumnya, LPSK mencatat, terdapat 704 korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan sejak 2015.
"Total, sebanyak 704 jumlah korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Secara akumulasi, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan kenaikan.
Adapun dari total korban tersebut terdiri dari 438 wanita dan 266 pria.
Di antara korban tersebut, 147 korban merupakan perempuan dengan status masih anak-anak.