JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah kepala keluarga atau kepala rumah tangga perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka itu meningkat terutama di daerah konflik dan bencana.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020 tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga.
Adapun faktor penyebab perempuan menjadi kepala rumah tangga, salah satunya karena bercerai dengan suaminya.
Kemudian suami tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga.
Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran atau sakit.
Akan tetapi, mayoritas perempuan menjadi kepala rumah tangga karena suaminya meninggal sekitar 67,17 persen.
Sebagian dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan.
Data BPS yang sama menujukan 42,57 persen tidak punya ijazah, jumlah paling besar di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
Kemudian sebanyak 26,19 persen berpendidikan sampai Sekolah Dasar (SD), 10,69 persen berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 20,55 persen hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) ke atas.
Baca juga: Kata Ekonom IMF, Perempuan Bakal Terdampak Krisis Lebih Berat
Menurut Mia Siscawati, dosen Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, kondisi ini diperparah karena perempuan yang jadi kepala keluarga itu sering dianggap tidak ada.
"Perempuan kepala keluarga sering dianggap tiada dalam beberapa konteks. Pada waktu tertentu, misalnya saat pemilu atau ada bantuan, mereka dibuat ada untuk menguntungkan pihak lain. Tapi itu bukan untuk mengakui keberadaannya," ujar Mia.
Para perempuan yang menjadi kepala keluarga memiliki latar belakang yang beragam, baik itu kelas ekonomi, kelas sosial, dan status perkawinan.
Baca juga: Angka Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Jatim Meningkat Saat Pandemi Covid-19
Mereka memiliki beban yang berlapis dan mengalami banyak kesulitan. Para perempuan itu juga terkena dampak stigma negatif saat menggugat cerai.
Bahkan, ketika para perempuan menjadi pencari nafkah utama meski masih bersuami, mereka juga dianggap bukan kepala keluarga.
"Jadi mereka dianggap tak ada atau tak penting oleh komunitas. Negara pun tak melihat perempuan kepala keluarga sebagai warga negara yang menjadi subyek atas pengakuan dan perlindungan haknya," ucap Mia.
Situasi ini pun diperburuk saat terjadi pandemi Covid-19. Para perempuan ini tetap harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Dampaknya amat terasa bagi perempuan kepala keluarga. Sebab, mereka harus berjuang sendiri dalam situasi krisis," kata Direktur Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Nani Zulminarni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.