JAKARTA, KOMPAS.com - Membuat obituari untuk seorang sahabat baik, bukan hal yang pernah saya bayangkan, apalagi menuliskan artikel obituari soal sahabat baik yang usil satu itu, Kurniasari Aziza.
Pertama kali mengenal Kur (begitu biasanya saya memanggil dia), di kantor Kompas.com tentunya.
Saya mulanya hanya tahu nama, sesama reporter Kompas.com saat itu. Kebetulan nama panggilannya sama dengan nama panggilan saya, "Icha".
Kadang ada saja narasumber yang salah menghubungi saya, menganggap saya itu si Kur, padahal sebenarnya dia ingin bicara dengan Kur. Ya, mungkin karena nama panggilan kami sama ya.
Selama di lapangan, saya belum pernah meliput bersama Kur. Namun, nama Icha Kur begitu dikenal di dunia wartawan, terutama wartawan yang biasa bertugas di Balai Kota DKI.
"Orang dekat Ahok", begitu salah satu julukan dia.
Kur memang pandai menjalin hubungan baik dengan narasumber, termasuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ketika itu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Narsum yang dikenal sulit ditembus pun, pasti bisa tembus kalau Kur yang coba kontak. Begitulah kira-kira sekilas yang saya dengar dari bos-bos di kantor soal Kur di lapangan.
Hingga saat kami sama-sama bertugas di kantor sebagai editor, kami ditempatkan dalam tim yang sama. Tim rubrik megapolitan Kompas.com.
Saat itu, kantor kami masih di gedung lama, "Kantor Palsel", begitu kami menyebutnya.
Di Kantor Palsel, kami duduk berhadap-hadapan. Kesan pertama bertemu Kur di kantor sebagai satu tim, dia kelihatan jutek, galak, tidak menyenangkan.
Lebih banyak diam, tidak ada bercanda, tampak serius, dan jarang mengajak bicara. Sepertinya sulit didekati (pikir saya saat itu).
Namun, lama kelamaan, entah dari mana mulanya, kami menjadi akrab.
Baca juga: Obituari Icha Kur Kurnia Sari Aziza: Orang Baik Pergi di Hari Baik...
Ternyata Kur tak seperti kesan pertama melihatnya. Dia ternyata anak yang begitu ceria, rendah hati, tetapi juga usil banget di kantor.
Kami semakin akrab setelah Kur membantu saya sebagai asisten editor. Kebetulan, saat itu saya menjadi editor.
Dia begitu banyak membantu saya, sangat bisa diandalkan, apalagi untuk ngomel-ngomel negur reporter (hehe bercanda Kur).
Dia bisa memberikan pandangan-pandangan yang berbeda, bahkan ketegasannya kerap kali melebihi saya. Ibarat kata, tanpa Kur, saya gamang.
Masih terbayang jelas di benak saya. Sosok kur yang duduk tenang di bangku kerjanya dengan headset kuning gambar pisang di kepala.
Kalau sudah asyik pakai si "headset" kuning itu, susah deh manggil si Kur. Kadang suka gemas, tapi juga bikin rindu.
Hingga kami pindah ke Menara Kompas, kami semakin akrab lagi. Makan bersama, berbagi link YouTube bersama, membahas isu peliputan bersama, dan bergosip bersama tentunya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.