Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasca-27 Juli 1996: Fenomena Mega Bintang dan Megawati yang Memilih Golput...

Kompas.com - 29/07/2020, 06:06 WIB
Tsarina Maharani,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Konflik internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi, berbuntut Tragedi 27 Juli 1996 atau yang dikebal sebagai Peristiwa Kudatuli.

Sejumlah dugaan menyebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan kubu Soerjadi dalam Peristiwa Kudatuli mendapat dukungan Pemerintah Orde Baru. Ini dilakukan untuk menjegal karier politik Megawati Soekarnoputri yang merupakan putri Soekarno.

Sebab, setelah bergabung dengan PDI pada 1987, nama Megawati terus melambung dalam panggung politik praktis dan hal tersebut membuat penguasa gusar.

Baca juga: Menyelisik Kembali Kronologi Peristiwa 27 Juli yang Mencekam...

Puncaknya, pada 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI.

Harian Kompas pada 15 Februari 2014 menulis, pemerintah keberatan karena khawatir PDI bakal membesar dengan dipimpin putri Bung Karno yang masih punya banyak pengikut.

Megawati lalu disingkirkan dan pemerintah mendukung. PDI Soerjadi menggelar kongres partai pada 1996.

Catatan Harian Kompas edisi 22 Juni 1996, kongres yang digelar di Medan itu menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI 1996-1998.

Pemerintah "merestui" kepengurusan Soerjadi, terlihat dengan hadirnya Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet dalam gelaran kongres tersebut.

Setelah itu, peristiwa Kudatuli meletus karena massa PDI Megawati dan PDI Soerjadi berebut kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Perusakan dan pembakaran gedung-gedung tidak dapat dihindari. Sejumlah orang dilaporkan luka-luka dan tewas akibat peristiwa itu.

Baca juga: 27 Juli 1996, Dualisme Partai Politik yang Berujung Tragedi...

Fenomena Mega-Bintang

Setelah peristiwa Kudatuli 1996, Megawati bertransformasi menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru dan Soeharto.

Pada masa Pemilu 1997, Megawati tidak bisa ikut pemilu, karena pemerintah tidak mengakui kepengurusan PDI di bawah kepemimpinannya.

Sebagian massa beralih ke PPP, lalu muncul jargon "Mega Bintang".

Mega Bintang disebut muncul setelah ada pertemuan antara Megawati dan Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe. Saat itu, Mega Bintang bertujuan melawan Presiden Soeharto dan Golkar.

Baca juga: Genap 72 Tahun, Ini Perjalanan Politik Megawati Soekarnoputri...

IlustrasiShutterstock Ilustrasi
Jargon Mega Bintang, dimaknai sebagai isyarat agar pendukung Megawati mengalihkan dukungan untuk PPP yang berlambang bintang.

Selain itu, juga dimaknai sebagai upaya melekatkan Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, politikus PPP yang ditahan pemerintah Soeharto atas tuduhan subversif setelah mencalonkan diri sebagai presiden.

Harian Kompas pada 13 Juli 1997 mencatat, "Mega Bintang" hadir lewat berbagai atribut kampanye, seperti spanduk, poster, boneka, hingga coreng moreng di tubuh.

Baca juga: Peringati Peristiwa Kudatuli, PDI-P: Megawati Telah Ajarkan Politik Rekonsiliasi

Selain kombinasi warna merah (warna PDI) dan hijau (warna PPP), gambar Megawati atau Buya Ismail maupun kombinasi keduanya banyak dijadikan atribut kampanye.

Megawati memilih Golput

Meski fenomena Mega Bintang mengemuka, Megawati Soekarnoputri secara terbuka tidak memberikan dukungan kepada PPP.

Bahkan, Megawati selaku pribadi memutuskan untuk tidak menggunakan hak politiknya dalam pemungutan suara yang digelar 29 Mei 1997.

Namun, Megawati membebaskan pendukungnya untuk menentukan sikap pada hari pencoblosan.

Ia menyampaikan pernyataan tersebut pada 22 Mei 1997, di hadapan sekitar seribu pendukungnya yang memenuhi halaman kediamannya.

"Saya menyadari bahwa pemberian suara adalah merupakan hak dari seseorang yang bersifat sangat hakiki dan asasi karena itu penggunaannya harus sesuai dengan hati nurani masing-masing warga negara," kata Megawati, dilansir dari Harian Kompas, 23 Mei 1997.

"Saya selaku Ketua Umum DPP PDI yang sah dan konstitusional berpendapat, bahwa apa yang disebut "PDI hasil Kongres Medan" adalah tidak sah dan tidak konstitusional karena itu untuk memilihnya pada tanggal 29 Mei 1997 juga tidak sah dan tidak konstitusional," ujarnya.

Baca juga: Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Saat Megawati Melawan tetapi Berakhir Diam...

Sikap politik seseorang yang memilih untuk tidak memillih sudah pernah disuarakan sebelumnya oleh sejumlah aktivis demokrasi, bahkan sejak 25 tahun sebelumnya.

Saat itu sejumlah aktivis seperti Arief Budiman menolak memberikan suara untuk partai politik tertentu pada Pemilu 1971, karena unsur ketidakpercayaan.

Harian Kompas menyebut mereka sebagai "kelompok bebas" yang memang dimotori oleh sejumlah anak muda.

"Orang-orang muda ini marah dan tidak puas namun mereka insaf bahwa Pemilu '71 akan berlangsung tanpa mereka mampu mencegahnya. Menyadari realitas ini dan keterbatasan kemampuannya, orang muda ini memutuskan untuk tidak ikut memilih," demikian tulisan di Harian Kompas edisi 29 April 1971.

Sebagai pernyataan sikap, para "kelompok bebas" ini memutuskan untuk tetap ke bilik suara, namun mereka mencoblos lambang putih di luar kotak berisi partai politik.

Sejak saat itu, sikap politik memilih untuk tidak memilih dikenal dengan sebutan "Golongan Putih" alias Golput.

Baca juga: Saat Orde Baru Tuding PRD Dalang Kudatuli 27 Juli 1996

Spanduk Mega Bintang dilarang

Sebelum Megawati mengungkapkan pilihannya, penguasa Orde Baru memang khawatir dengan masifnya kampanye Mega Bintang.

Dilansir dari Harian Kompas edisi 13 Mei 1997, pemerintah bahkan melarang penggunaan spanduk "Mega-Bintang" dalam kegiatan kampanye.

Jaksa Agung Singgih mengatakan, pencantuman "Mega Bintang" dinilai menyalahi peraturan perundangan tentang kampanye pemilu.

Baca juga: Megawati Kenang Jatuh Bangun PDI-P di Era Orde Baru

Namun, ia juga tak merinci lebih jauh dasar hukum pelarangan spanduk itu. Ia hanya mengatakan tiap spanduk yang digunakan dalam kampanye harus dapat izin kepolisian.

"Masalah fenomena munculnya spanduk Mega-Bintang sudah dibicarakan dalam rapat PPI hari ini. Spanduk-spanduk 'Mega-Bintang' yang berhasil dipantau Panwaslak lebih karena spontanitas massa ini adalah tidak dibenarkan menurut ketentuan perundangan yang berlaku. Ini jelas dilarang," kata Singgih.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet membantah bahwa pelarangan spanduk "Mega Bintang" tersebut karena berkaitan dengan nama Megawati.

"Tidak ada embel-embel itu," kata Yogie.

Baca juga: Peristiwa Kudatuli, Sutiyoso, dan Hubungannya dengan Megawati...

Setelahnya, sebagaimana lima pemilu sebelumnya, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden dan Golkar menang telak pada Pemilu 1997.

Namun, catatan "Jejak Pemilu" Harian Kompas pada 15 Februari 2014, menyatakan pemilu tahun 1997 menjadi pemilu terakhir pada masa Orde Baru.

Soeharto pun terguling dari kursi presiden pada 1998.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com