JAKARTA, KOMPAS.com - Kerusuhan 27 Juli atau biasa disebut "Kudatuli" yang terjadi 24 tahun lalu meninggalkan sejumlah pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul ialah siapa yang mendalangi kerusuhan itu.
Saat itu rezim Orde Baru menyebut Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di balik kerusuhan yang dipicu tidak terimanya pendukung PDI kubu Soerjadi dengan keputusan Kongres Jakarta yang mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI.
Kerusuhan akhirnya pecah di Kantor DPP PDI dan beberapa tempat di Jakarta. Kala itu, pemerintah menyebut Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di balik peristiwa itu lantaran dinilai telah secara nyata melawan Orde Baru.
Baca juga: Peringati Peristiwa Kudatuli, PDI-P: Megawati Telah Ajarkan Politik Rekonsiliasi
Harian Kompas, 31 Juli 1996 menuliskan, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengatakan, PRD menunjukkan kemiripan dengan PKI terutama dari istilah-istilah yang digunakan dalam manifesto politik tertanggal 22 Juli 1996.
Menurut Soesilo, PRD hanya satu dari beberapa pihak yang disebut membonceng kerusuhan tersebut.
Menanggapi tudingan itu, Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono menyatakan peristiwa Kudatuli sedianya merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap Orde Baru yang mengontrol semua lini kehidupan masyarakat.
Baca juga: Peristiwa Kudatuli, Sutiyoso, dan Hubungannya dengan Megawati...
Akumulasi kekesalan seluruh eksponen kelompok masyarakat tersebut, kata Agus, menyatu dalam pertemuan di Kantor DPP PDI kala itu.
Ia menyadari latar belakang perpecahan itu terjadi lantaran selisih paham di internal PDI antara kubu Soerjadi dan Megawati. Namun saat itu, kata Agus, kelompok pro demokrasi turut memberi dukungan kepada Megawati.
Saat itu bersama PDI kubu Megawati, kelompok pro demokrasi menggelar mimbar rakyat Indonesia untuk menyampaikan beragam aspirasi dan kritik terhadap Orde Baru.
"Waktu itu juga ada Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas dan lain-lain lah. Itu semua berkumpul di situ (Kantor DPP PDI)," kenang Agus saat dihubungi, Senin (27/7/2020).
Agus menambahkan, saat itu seluruh kekuatan pro demokrasi berpikir bahwa mereka membutuhkan simbol perlawanan terhadap Suharto.
Mereka akhirnya memilih Megawati sebagai simbol perlawanan. Sebabnya, terpilihnya putri Bung Karno sebagai Ketua Umum PDI itu kabarnya juga tak disetujui Presiden Suharto.
Baca juga: Peneliti Sejarah Kritik Narasi soal Kudatuli dalam Buku Pelajaran
Kendati demikian, ia mengakui saat itu PRD juga menjadi salah satu motor penggerak perkumpulan pada 27 Juli di Kantor DPP PDI.
Bahkan lima hari sebelumnya PRD mendeklarasikan diri sebagai partai politik baru di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tak jauh dari Kantor DPP PDI.
Dengan adanya deklarasi tersebut maka PRD secara tak langsung menentang Orde Baru yang membatasi jumlah partai politik hanya dua dengan satu golongan yakni Golongan Karya (Golkar).
"Saat itu Orde Baru memandang PRD sebagai organ politik yang berpotensi mendelegitimasi mereka karena berani menentang kebijakan pembatasan partai politik dan dwifungsi ABRI yang menjadi kekuatan utama Orde Baru," lanjut Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.