JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo mengakui sulitnya membuktikan praktik mahar politik dalam suatu gelaran pilkada.
Menurut Ratna, mahar politik cenderung dilakukan secara terbatas dan rahasia.
Untuk membuktikan adanya mahar politik, harus ada pengakuan dari pihak pemberi bahwa dirinya mengeluarkan sejumlah uang.
Padahal, dengan begitu pihak pemberi dapat dikenai sanksi pidana. Demikian juga pihak penerima.
"Dengan karakter perbuatan yang terbatas, tertutup atau rahasia, membuktikan adanya mahar politik sangat sulit walaupun salah satu pihak membuka rahasia itu karena kecewa, namun kedua belah pihak sama-sama diancam sanksi pidana," kata Ratna dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Rabu (22/7/2020).
Baca juga: Waketum Golkar Klaim Tak Bicara Mahar Politik pada Pilkada 2020
Ratna mencontohkan, dugaan mahar politik sempat diungkap eks kader Partai Gerindra, La Nyalla Mataliti.
Pada Januari 2018, La Nyalla mengaku dimintai mahar politik Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai modal dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Timur.
Saat itu Bawaslu melakukan penelusuran dengan mengundang La Nyalla. Namun, La Nyalla tidak pernah datang ke Bawaslu sehingga proses penelusuran dihentikan.
"Kendala kita kan Bawaslu tidak punya kewenangan memaksa, makanya undangan klarifikasi kita itu bunyinya adalah undangan, bukan panggilan, sehingga ketika pihak yang diundang tidak datang maka tidak ada informasi yang bisa didapatkan secara terang," ujar Ratna.
Ia menyebut, untuk mengungkap mahar politik, kewenangan Bawaslu juga sangat terbatas.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan