Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Swiss Tak Lagi Aman Bagi Koruptor Indonesia untuk Menyimpan Duit

Kompas.com - 15/07/2020, 09:31 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi Undang-Undang, Selasa (15/7/2020).

Swiss yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara tujuan bagi koruptor Indonesia untuk menyimpan aset, rekening atau uang, tidak lagi menjadi negara aman bagi mereka menyimpan hal-hal tersebut.

Sebab, dengan beleid itu, pemerintah memiliki payung hukum untuk merampas kembali aset-aset mereka yang disembunyikan di Swiss.

"Pada seluruh peserta sidang yang terhormat, apakah RUU tentang RUU tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Hukum Timbal Balik dalam Pidana Antara Indonesia dan Konfederasi Swiss dapat disetujui disahkan menjadi undang-undang?" kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat meminta persetujuan.

"Setuju," jawab anggota yang hadir.

Baca juga: DPR Sahkan Perjanjian Hukum Timbal Balik Indonesia-Swiss Jadi UU, Ini Catatan KPK

Seperti dilansir dari Kompas.id, Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengatakan, Swiss dikenal sebagai pusat keuangan yang memiliki keamanan dan aturan kerahasiaan perbankan yang ketat.

Bersama Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan Kepulauan Cayman, negara-negara ini kerap menjadi surga bagi pelaku kejahatan untuk menyimpan hartanya agar terhindar dari jeratan hukum.

Lacak

Bukan kali ini saja Indonesia mencoba mengembalikan aset yang diboyong koruptor ke Swiss.

Dalam catatan Kompas, pada tahun 2007, Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah membicarakan perjanjian yang sama saat bertemu dengan Presiden Konfederasi Swiss, Micheline Calmy-Rey.

Selain itu, antara tahun 2005 dan 2009, aparat penegak hukum juga pernah beberapa kali memulangkan aset-aset tersebut ke Tanah Air.

Beberapa di antaranya milik mantan Direktur Utama Bank Global, Irawan Salim sebesar Rp 500 miliar. Kemudian aset milik mantan Direktur Utama Bank Mandiri, ECW Neloe, sebesar 5 juta dollar AS.

Selain itu, ada pula aset Bank Century yang diduga dilarikan oleh mereka yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus korupsi dana talangan untuk Bank Century tahun 2008.

Namun, menurut Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni, pemerintah perlu melacak kemana saja larinya aset-aset para koruptor itu di luar negeri.

Baca juga: DPR Sahkan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik RI dan Swiss

"Pemerintah perlu memperbarui perkembangan terakhir dari praktik pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku di Indonesia yang mana kemungkinan besar Swiss bukan lagi menjadi tempat untuk menempatkan aset, rekening, atau uang mengingat sudah beralih ke negara lain," kata Sahroni.

Oleh karena itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berencana membentuk tim pelacak untuk menindaklanjuti perjanjian ini. Tim ini terdiri atas perwakilan Kemenkumham, Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Luar Negeri.

"Langkah selanjutnya, tentu kami akan membentuk tim dan duduk bersama-sama dengan Bareskrim, Kejaksaan, KPK serta Kementerian Luar Negeri untuk melakukan asset tracing," kata Yasonna dalam keterangan tertulis.

Kronologi

Sebelum disahkan menjadi UU oleh DPR, proses meratifikasi perjanjian hukum timbal balik antara Indonesia dan Swiss sebenarnya sudah cukup panjang.

Pada 4 Februari 2019, Indonesia telah menandatangai perjanjian kerja sama dengan Swiss.

"Perjanjian ini juga memuat fitur-fitur penting yang sesuai dengan tren kebutuhan penegakan hukum, sehingga dapat diharapkan menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana yang dihadapi oleh kedua negara," kata Yasonna.

Namun, walaupun perjanjian itu telah diratifikasi, pemberlakuan perjanjian ini harus menunggu proses ratifikasi di Swiss rampung.

Baca juga: Menanti Optimalisasi Perjanjian MLA Indonesia-Swiss

Menurut Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman Hadad, proses ratifikasi diperkirakan baru selesai pada tahun depan.

"Untuk di Swiss, prosesnya berjalan di parlemen karena harus melalui persetujuan Council of States (Dewan Negara-negara Bagian) dan National Council (Dewan Nasional)," kata Muliaman.

"Diharapkan pada sesi parlemen musim gugur (sekitar September) akan ada pembahasan lanjutan di Council of States. Diharapkan semua proses selesai paling lambat 2021," imbuh dia.

Retroaktif

Salah satu keunggulan pada klausul kerja sama ini yaitu adanya prinsip retroaktif yang diusung oleh kedua belah pihak.

Artinya, pelaksanaan bantuan timbal balik dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilan belum dilaksanakan.

"Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini terwujud," ungkap Sahroni.

Hal itu pun turut diamini oleh Yasonna.

Menurut dia, seluruh aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum UU berlaku tetap bisa dilacak dan disita negara.

"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," ujar Yasonna.

Baca juga: RI Disebut Punya 3 PR agar Perjanjian MLA dengan Swiss Berjalan Optimal

Selain itu, di dalam perjanjian tersebut juga disepakati adanya penyederhanaan prosedur bantuan hukum timbal balik.

Terutama, dalam mengurangi persyaratan formal seperti keharusan adanya otentikasi dan persyaratan rinci untuk meminta bantuan timbal balik.

Perampasan aset

Di lain pihak, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengapresiasi ratifikasi tersebut.

Namun, ia mengingatkan, aparat penegak hukum tetap dituntut profesional dan ahli dalam hal upaya pengembalian aset hasil korupsi.

Menurut Nawawi, dengan adanya perjanjian mutual legal agreement (MLA) itu, dasar hukum kerja sama internasional memang menjadi lebih kuat tetapi kapasitas penegak hukum tetap jadi faktor utama.

"Terkait upaya pengembalian aset hasil korupsi dan prinsip dari MLA, penegak hukum di Indonesia tetap dituntut profesionalitas dan keahliannya untuk memetakan keberadaan alat bukti, memetakan keberadaan aset di dalam dan luar negeri," ujar Nawawi.

Baca juga: MLA Tak Maksimal jika Tak Diikuti Penguatan Penegakan Hukum Berbasis Pemulihan Aset

Terkait perampasan aset, Nawawi menambahkan, hal yang kini dibutuhkan oleh KPK adalah undang-undang tentang perampasan aset serta pengaturan sejumlah tindak pidana korupsi sesuai Konvensi Antikoripsi PBB.

Nawawi mengungkapakan, beberapa aturan korupsi yang sudah berlaku di dunia namun belum berlaku di Indonesia antara lain perdagangan pengaruh (trading in influence).

Kemudian, peningkatan kekayaan secara tidak sah, korupsi di sektor swasta, suap kepada pejabat publik asing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Nasional
5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Nasional
Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin 'Gemoy'

PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin "Gemoy"

Nasional
Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

Nasional
Sinyal 'CLBK' PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Sinyal "CLBK" PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Nasional
Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Nasional
Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Nasional
Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Nasional
Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com