"Sehingga tim teknis ini harus menghasilkan kesepakatan, baik pasal yang disetujui atau tidak, dan harus ada keputusan tim dalam bentuk rekomendasi untuk diserahkan kepada Presiden," tegas dia.
"Biarlah Presiden yang kemudian memutuskan yang terbaik untuk bangsa dan rakyat yang selanjutnya menjadi bahan dalam rapat di DPR RI," tambah Said.
Baca juga: Stafsus Sri Mulyani Bicara Soal Turunnya Besaran Pesangon di RUU Cipta Kerja
Diketahui, DPR akan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja pada Masa Persidangan IV Tahun 2019-2020.
RUU Cipta Kerja sebelumnya sempat mandek setelah Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Empat alasan
Said mengungkapkan sejumlah alasan mengapa kalangan buruh keluar dari tim teknis yang membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur," ujar Said.
Adapun masing-masing unsur yang dimaksud adalah unsur tripartit, yakni pemerintah, serikat pekerja, dan Apindo maupun Kadin.
Alasan kedua, kata Said, unsur Apindo maupun Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja.
Baca juga: Survei SMRC: 74 Persen Masyarakat Belum Tahu Ada RUU Cipta Kerja
Pihaknya semakin kecewa lantaran Apindo maupun Kadin tidak mau menyerahkan usulan konsep mereka secara tertulis.
Menurut Said, arogansi yang ditunjukan Apindo maupun Kadin karena merasa di atas setelah mendapat dukungan dari unsur pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan.
"Barangkali mereka merasa di atas angin karena merasa didukung oleh unsur pemerintah," kata Said.
Kemudian alasan ketiga adalah ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020.
Dengan jumlah pertemuan yang hanya empat hingga lima kali, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi dari buruh.
"Karena tidak mungkin membahas pasal-pasal yang sedemikian berat hanya dalam 4-5 kali pertemuan," tegas dia.
Terakhir, alasan buruh angkat kaki dari tim tersebut, yakni masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung. Tetapi tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law.
Baca juga: Survei SMRC: Dari 26 Persen Masyarakat yang Tahu RUU Cipta Kerja, Mayoritas Mendukung
Padahal, lanjut Said, yang harus diselesaikan adalah substansi dari klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum, yakni Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten (UMSK) hingga memberlakukan upah perjam di bawah upah minimum.
“Berdasarkan 4 alasan di atas, kami dari KSPI, KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan," tegas dia.
Ancam Demo