Oleh: Dr H Rasji, SH, MH
JOKO WIDODO dan KH Ma'ruf Amin telah memenangi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019.
Meskipun harus melalui proses gugatan sengketa hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya Jokowi dan Ma'ruf dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode jabatan 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Tiba-tiba pada 3 Juli 2020 Mahkamah Agung (MA) memublikasikan putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 mengenai pengujian material Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum.
Melalui putusannya, MA menyatakan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 6A UUD 1945.
Akibat publikasi Putusan MA tersebut, sebagian orang atau pihak mempersoalkan keabsahan Jokowi dan Ma'ruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Bahkan ada sebagian elemen masyarakat yang menghendaki agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres RI.
Tentu saja polemik itu menjadi pertanyaan besar bagi semua pihak mengenai keabsahan keduanya sebagai pemimpin negara.
Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyatakan, "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih."
Pasal ini dinyatakan oleh MA bertentangan dengan Pasal 416 UU Pemilu yang menyatakan pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Rumusan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu adalah sama dengan rumusan Pasal 6A UUD 1945.
Dampak Putusan MA di atas terhadap keabsahan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres harus dilihat dari aspek hukum dan aspek peraturan perundang-undangan.
Pertama, Indonesia menganut paham hukum positif, yaitu hukum yang sedang berlaku. Pada saat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 hingga pelantikannya pada Oktober 2019, Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 adalah hukum positif, artinya peraturan yang sedang berlaku. Tidak ada keputusanpun apa pun yang menyatakan atau membatalkan Peraturan KPU tersebut.
Hukum yang berlaku adalah hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, sehingga penetapan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih dalam Pemilihan Umum Predisen dan Wakil Presiden tahun 2019 tunduk dan terikat pada Peraturan KPU tersebut.
Karena itu, penetapan dan pelantikan Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden adalah sesuai dengan hukum positif yang berlaku.