JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society (LGS) Fakultas Hukum UGM Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, budaya kekerasan menjadi salah satu penyebab mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sulit diselesaikan.
Menurut perempuan yang akrab disapa Iyik itu, kekerasan seksual kerap dianggap sebagai hal yang biasa saja.
"Harus kita akui bahwa budaya kekerasan masih sangat kuat. Karena budaya kekerasan menganggap kekerasan biasa-biasa saja, kekerasan seksual tidak terlalu penting bahkan mentoleransi," kata Iyik dalam Forum Diskusi "Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual", Rabu (8/7/2020).
Baca juga: Pusat Kajian Gender UGM: Tak Semua Bentuk Kekerasan Seksual Diatur Undang-undang
Dia mengatakan, budaya kekerasan ini bahkan terasa kuat di level DPR dan pemerintah.
Menurutnya, kekerasan seksual lebih dianggap sebagai pelanggaran nilai moralitas, bukan sebagai kejahatan yang dapat dihukum.
Akibatnya, pembahasan RUU PKS pun menjadi rumit dan menimbulkan perdebatan pandangan.
"Budaya kekerasan ini sangat kuat di berbagai level, termasuk mohon maaf di level pemerintah dan DPR. Ini yang menyebabkan panjang sekali pembahasannya," ucap Iyik.
Padahal, kata Iyik, sudah banyak korban kasus-kasus kekerasan seksual.
Baca juga: RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas di Saat Tingginya Kasus Kekerasan Seksual
Iyik pun menegaskan bahwa bangunan hukum Indonesia harus berkeadilan.
Ia juga menyinggung soal pandangan kelompok-kelompok agama tertentu yang menilai RUU PKS ini merupakan produk liberal.
Iyik mengatakan, kepentingan-kepentingan kelompok tersebut makin memberatkan pembahasan RUU PKS.
"Hal lain yang juga muncul adalah adanya pandangan kelompok agama tertentu yang mengatasnamakan agama yang menganggap RUU ini adalah produk liberal karena mengangkat kesetaraan gender, dan itu dimunculkan di pemerintah dan DPR," ujarnya.
Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual, Apa Isi dan Polemik RUU PKS?
Ia pun menegaskan RUU PKS sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan DPR bersama pemerintah.
Sebab, menurut Iyik, saat ini ada kekosongan perlindungan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Iyik menyebut, perlindungan hukum dan layanan bagi korban kekerasan seksual sangat terbatas.
"Saya kira kita semua setuju, RUU ini sebagai afirmasi terhadap kesenjangan hukum terhadap perlindungan korban. Jadi afirmasi, mengoreksi peraturan atau sistem peradilan pidana yang selama ini abai terhadap korban. Dengan demikian, demi kemanusiaan yang bermartabat khususnya bagi korban kekerasan seksual," kata Iyik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.