JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan majelis hakim terhadap mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono dalam kasus korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Demikian disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono saat konferensi pers di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (7/7/2020).
“JPU masih menyatakan upaya hukum banding karena putusan belum sesuai harapan JPU,” kata Ali.
Diketahui, majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis kedua terdakwa itu 4 tahun penjara dan denda masing-masing Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Baca juga: Didakwa Rugikan Negara 2,7 Miliar Dollar AS, Eks Bos BP Migas Ajukan Eksepsi
Majelis hakim juga menilai Raden Priyono dan Djoko Harsono terbukti bersalah melakukan korupsi dalam perkara yang sama.
Vonis tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan JPU, yaitu 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan.
JPU sebelumnya juga menuntut kedua terdakwa membayar denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Sementara itu, Kejagung sudah mengeksekusi sebagian putusan pengadilan terhadap terpidana mantan Presiden Direktur PT TPPI Honggo Wendratno dalam kasus ini.
Sebagai informasi, berkas untuk Honggo yang kini masih buron terpisah dengan berkas perkara untuk dua terdakwa lainnya.
Baca juga: Eks Bos BP Migas Didakwa Rugikan Keuangan Negara 2,71 Miliar Dollar AS
Karena masih buron, eksekusi untuk hukuman badan terhadap Honggo belum dapat dilaksanakan. Kejagung serta sejumlah instansi terkait lainnya masih berupaya mengejar Honggo.
Namun, barang bukti berupa uang sebesar Rp 97 miliar yang sebelumnya disita telah dieksekusi untuk diserahkan ke negara.
Ali menuturkan, uang tersebut bukan merupakan uang pengganti. Penyitaan uang Rp 97 miliar tersebut merupakan perampasan atas keuntungan yang diterima Honggo.
Secara keseluruhan, ia mengatakan total kerugian negara dari kasus ini sebesar Rp 35 miliar.
Namun, masih terdapat kekurangan sebesar 128 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,7-1,8 triliun untuk menutupi kerugian negara itu.
Baca juga: Kejaksaan Eksekusi Sebagian Isi Putusan Terpidana Honggo Wendratno
Diketahui, nominal 128 juta dollar AS merupakan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan oleh Honggo sesuai putusan pengadilan.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, diperhitungkan dari nilai barang bukti berupa kilang Tuban LPG Indonesia (TLI) di Tuban, Jawa Timur.
“Dari kekurangan ini diperhitungkan harga kilang tadi. Nanti dilakukan appraisal dari pihak Kemenkeu selaku yang menerima barang itu,” tutur Ali.
Sebelumnya, Honggo divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Majelis hakim menilai Honggo terbukti melakukan korupsi pada kasus penjualan kondensat oleh PT TPPI.
Baca juga: Keberadaan Buronan Honggo Wendratno yang Masih Jadi Misteri
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Honggo pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Honggo Wendratno membayar uang pengganti sebesar 128.233.370,98 dollar Amerika Serikat dengan memperhitungkan nilai barang bukti berupa tanah dan bangunan yang di atasnya terdapat pabrik kilang LPG atas nama PT Tuban LPG Indonesia, Tuban, Jawa Timur.
"Bila terpidana tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama enam tahun," kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (22/6/2020), seperti dikutip Antara.
Baca juga: Jusuf Kalla Jadi Saksi dalam Kasus Dugaan Korupsi Kondensat TPPI
Diketahui, pengusutan perkara dugaan korupsi lewat penjualan kondensat sudah dilakukan Bareskrim Polri sejak 2015.
Korupsi itu melibatkan SKK Migas (dulu bernama BP Migas), PT TPPI dan Kementerian ESDM. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana.
Pertama, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh SKK Migas untuk menjual kondensat.
Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina.
TPPI justru menjualnya ke perusahaan lain. Penyidik juga menemukan bahwa meski kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani Maret 2009, namun PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual.
Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.