Faktanya, setelah menambah 15 kursi pada pemilu 2019 (yang diadopsi pada RUU Pemilu ini) ternyata tidak memperbaiki kesetaraan keterwakilan. Masih ada provinsi yang over representation di antaranya: Aceh +2 kursi, Sulawesi Selatan +3 kursi dan Sumatera Barat +2 kursi, termasuk Kalimantan Utara yang seharusnya hanya 1 kursi namun karena ketentuan UU jadi 3 kursi.
Ada pula provinsi yang under representation antara lain: DKI Jakarta -2 kursi, Jawa Barat -6 kursi, dan Sumatera Utara -2 kursi. Implikasinya, harga kursi di tiap dapil jadi tidak setara. Hal ini tentu wujud inkonsistensi prinsip OPOVOV.
Penerapan ambang batas perolehan suara di DPR sebesar 7 persen akan berdampak serius meningkatnya indeks disproporsionalitas dan besarnya suara yang terbuang. Wujud nyata inkonsistensi sistem proporsional.
Menuju perwakilan politik kolektif dan setara
Sistem proporsional daftar tertutup seperti pasal 206 RUU Pemilu bukanlah ide yang buruk. Dengan syarat, demokratisasi dan transparansi penentuan nomor urut di partai politik diatur secara tegas di UU pemilu.
Sistem proporsional tertutup pada pemilu 1999 dan 2004 terbukti menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas baik ketokohan maupun kapabilitasnya.
Partai politik akan berhitung dan menaruh kader terbaiknya untuk mendapatkan dukungan rakyat. Meskipun, hal ini akan diuji dengan putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 yang memberikan syarat penentuan sistem pemilu.
Baca juga: Lima Isu Klasik dalam Pembahasan RUU Pemilu dan Janji DPR Menyelesaikan pada 2021
Para pakar kepemiluan menganalogikan sistem organ tubuh manusia dengan jantung sebagai sentralnya yakni parlemen dan rakyat sebagai keseluruhan anggota tubuh. Ada korelasi yang konstan antara ukuran jantung (parlemen) dengan besarnya tubuh, yakni ukuran jantung adalah akar pangkat tiga dari besarnya tubuh manusia.
Pakar matematika pemilu Taagepara dan Shugart merumuskan pada negara berkembang jumlah anggota parlemen adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk aktif, yakni mereka yang secara riil terlibat aktif dalam partisipasi politik dan mencari perwakilan politik (Kemitraan, 2011).
Penggunaan metode fix seat lebih menjamin kepastian jumlah kursi parlemen. Proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2020 menurut BPS adalah 271.066.400 penduduk, dengan asumsi 90 persen penduduk melek huruf dan 50 persen persentase usia kerja, secara fix seat jumlah kursi DPR di Indonesia idealnya 496-500 kursi.
Sejarah pernah mencatat DPR periode 1999-2004 dengan 500 anggota DPR sudah cukup menampung keragaman politik dan efektif kinerjanya. Menghasilkan 175 UU disahkan dari 120 RUU yang diusulkan dengan kualitas undang-undang yang dihasilkan pun lebih baik, sedikit produk UU yang diuji di Mahkamah Konsitusi.
Bandingkan dengan DPR yang kursinya lebih banyak pada hasil Pemilu 2014 atau 2019, tidak lebih produktif bukan?
Tahun 2020 bersamaan dengan agenda sensus penduduk 10 tahunan adalah momentum yang tepat untuk menata dapil sesuai jumlah penduduk faktual.
Perubahan penataan dapil perlu ditegaskan di UU pemilu agar tidak selalu berganti tiap pemilu untuk menciptakan stabilitas politik dan hubungan yang konstan antara konstituen dan wakil rakyat.
Baca juga: Sistem Pemilu Masih Menjadi Perdebatan dalam Pembahasan RUU Pemilu
Langkah pertama, berikan kewenangan penetapan dapil dan alokasi kursi pada KPU untuk menghindari tarik menarik kepentingan pragmatis partai.