Kalau ditanya ke warga daerah, kira-kira lebih suka dipimpin gubernur, walikota, atau bupati beneran apa penjabat gubernur, walikota atau bupati. Pasti, lebih banyak yang ingin dipimpin sosok gubernur, walikota, atau bupati definitif.
Bukan sekadar simbol pemerintahan, tapi gubernur, walikota atau bupati memiliki kewenangan yang lebih powerful, misalnya dalam bidang penataan organisasi birokrasi, SDM atau kepegawaian maupun soal alokasi anggaran untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya pada rakyat yang telah memilihnya.
Banyak pengamat yang menilai pilkada di tengah pandemi akan menguntungkan petahana?Tidak juga, Pilkada di tengah pandemi ini bisa jadi soal ujian akhir kompetensi kepemimpinan kepala daerah.
Bagi pemimpin yang sukses menangani krisis pandemi Covid-19 ini baik mengelola bansos, membuat sistem managemen kesehatan dan kerja keras turun ke lapangan, memastikan kesehatan publik dan keseimbangan ekonomi terjaga, bisa menjadi poin plus.
Sebaliknya, jika gagal, misalnya pengelolaan bansos yang amburadul, kasus corona yang tidak terkendali hingga isu korupsi bansos bisa jadi pemilih akan menghukum petahana dengan tidak memilihnya kembali.
Tahun depan pemerintah termasuk pemda fokus pada tahun recovery ekonomi, bila tahun depan masih berfokus pada tahun politik dengan menggelar pilkada, maka recovery ekonomi tidak akan maksimal.
Begitu pula dengan anggaran penyelenggaraan pilkada jika ditunda tahun depan akan menjadi beban berat bagi ruang fiskal pemda yang sedang bekerja keras memulihkan ekonomi.
Mau-tidak mau, suka-tidak suka, enak-tidak enak, kita harus legawa untuk berikhtiar menggelar pilkada di tengah pandemi.
Bergandengan tangan
Saat ini, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan kepemiluan baik penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, pemerintah, partai politik, dan peserta pilkada bergandengan tangan, bersama-sama melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga demokrasi.
Keyakinan bahwa pemilu adalah instrumen penting untuk memperkuat demokrasi sekaligus menegakkan kepastian hukum perlu digaungkan.
Bila antarpemangku kepentingan masih saling “ngotot” menunda atau melanjutkan pilkada, akan memicu keraguan bagi pemilih dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu.
Problem kesehatan publik dan menjaga demokrasi, dua-duanya tidak akan terpecahkan, yang ada hanya saling adu kuat argumentasi mendukung atau menolak pilkada.
Penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik dan kandidat peserta pilkada, maupun masyarakat sipil, secara kolektif sudah harus selangkah lebih maju membahas mengantisipasi potensi permasalahan yang akan terjadi.
Pilkada yang demokratis, aman dan sehat harus kita wujudkan bersama-sama. Kesetaraan kompetisi antarkandidat, pemenuhan hak pilih dan penyelenggara pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat harus kita jaga.
Jangan sampai, habis pilkada terbitlah wabah corona cluster pilkada jika protokol kesehatan diabaikan. (Dody Wijaya | Peminat Kajian Kepemiluan dan Pegiat Pemilu, Tinggal di Jakarta Selatan | Saat ini berkiprah menjadi anggota/ komisioner KPU Kota Jakarta Selatan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.