Gara-gara pandemi bisa dijadikan alasan bagi pemerintah otoritarian untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya dengan menghilangkan hak asasi paling mendasar yakni hak politik untuk memilih dan dipilih.
Baca juga: Syarat Anggota Legislatif Harus Mundur saat Mencalonkan Diri di Pilkada Digugat Lagi ke MK
Secara hukum, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi memiliki payung hukum yang kuat yakni Perppu No 02 Tahun 2020. Artinya, pelaksanaan pilkada bukan semata kemauan KPU sebagai penyelenggara tetapi amanat undang-undang dalam hal ini Perppu.
Menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara pemilu di Indonesia.
Publik tidak perlu ragu, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu yang seringkali sistem dan aturan mainnya berubah.
Lha gimana, Undang-Undang Pemilu dan Pilkadanya saja sering berubah-ubah kok, baik di ubah oleh DPR, di judicial review di MK ataupun tiba-tiba ada Perppu dari pemerintah.
Masyarakat atau pemilih di Indonesia karakteristiknya mudah menerima perubahan sistem dan cenderung manut. Lihat saja perilaku pemilih pada pemilu Orde Baru maupun di era reformasi yang berubah-ubah aturan mainnya.
Misalnya, pemilu serentak 5 kotak, sistem tertutup kemudian terbuka, dan macam-macam sistem pemilu sudah pernah dicoba dan pemilihnya cenderung mudah beradaptasi.
Coba saja lihat hasil survei Litbang Kompas yang terbaru pada 5 Juni 2020, 64,8 persen publik tetap bersedia ikut serta saat pencoblosan jika pilkada tetap digelar saat pandemi.
Soal aspek kesehatan publik bagaimana? BNPB sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penanganan pandemi Covid-19 tentu di dalamnya berisi para ahli kesehatan, ahli pandemiologi, dan para pakar, telah memberikan surat jawaban bahwa tahapan pilkada dapat dilanjutkan dengan memenuhi protokol kesehatan.
Dari 294 daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, tidak semua daerah rawan Covid-19. Hanya 15 persen yang menerapkan PSBB dan 16 kabupaten/kota yang memiliki kasus Covid-19 lebih dari 100 kasus.
Cukup realistis menggelar pilkada di tengah pandemi ini, saat pemerintah sedang berupaya membuka kembali aktivitas sosial ekonomi masyarakat secara bertahap.
Efektivitas pemerintahan di era new normal
Era new normal, suka tidak suka, mau tidak mau “terpaksa” kita pilih karena tidak ada satu pun ilmuwan, peneliti, maupun lembaga yang memastikan kapan pandemi Covid-19 berakhir.
Untuk mengindari ketidakpastian yang tiada ujungnya, pilkada bisa terus ditunda di tahun 2021, 2022 dan seterusnya. Jika Pilkada ditunda terus maka tidak akan ada kepastian penyelenggaraan pemilu.
Bila Pilkada harus ditunda, pemerintah harus mengangkat 270 penjabat kepala daerah yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah yang konsentrasi semua SDM dialokasikan untuk perang total melawan pandemi Covid-19.