Oleh Dody Wijaya*
BANYAK orang takut dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah Pandemi Covid-19, barangkali Anda termasuk salah satunya.
Boleh jadi ketakutan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang kuat. Mari kita kuliti satu per satu alasan mengapa perlu menggelar pilkada di tengah pandemi.
Publik, khususnya 105 juta pemilih di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tentu bertanya apa sih pentingnya pilkada di saat mereka harus berjuang melawan wabah corona ini? Bukankah sekarang lebih penting bagaimana virus corona segera hilang dari muka bumi?
Tak kalah penting, masyarakat kecil bisa kembali bekerja untuk mengisi perut yang telah dikencangkan ikat pinggangnya tiga bulan ini. Seolah-olah langkah KPU bertentangan dengan logika publik.
Baca juga: Anggaran Tambahan Pilkada Tahap 2 dan 3 Diharapkan Cair Agustus dan Oktober
Antara melindungi kesehatan vs menjaga demokrasi
Urusan menunda atau tetap menggelar pemilu di tengah pandemi di berbagai negara pun beragam. Sebanyak 30 negara tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal di tahun 2020, misalnya Jerman, Perancis, Korea Selatan.
Ada yang menunda di tahun depan antara lain Paraguay, Inggris, Kanada. Ada yang menggeser jadwal pelaksanaan tapi tetap di tahun 2020 oleh sebagian besar negara yang menyelenggarakan pemilu di tahun ini, misalnya Afrika Selatan, Austria, Polandia.
Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya.
Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya.
Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penanganan Covid-19.
Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standart pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005).
Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu.
Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi.
Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.