JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji membagikan cerita penanganan Covid-19 di daerahnya.
Menurut Sutarmidji, hal dasar yang harus dilakukan kepala daerah adalah selalu memantau pergerakan data terbaru kasus Covid-19 di daerah.
Tujuannya, untuk memetakan langkah strategis penanganan penyakit tersebut, baik secara medis maupun sosial.
"Yang jelas, kepala daerah itu harus tahu data setiap hari. Saya kalau dalam satu hari hubungi Kepala Dinas Kesehatan saya bisa kirim WhatsApp 200-300 kali," kata Sutarmidji dalam talkshow daring yang digelar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Jumat (3/7/2020).
Baca juga: Gubernur Kalbar Sebut Rapid Test Jadi Kunci Tekan Kasus Covid-19
"Karena saya harus tahu pergerakan data itu setiap waktu supaya saya bisa buat kebijakan yang efisien dan cepat. Kalau kita lengah, kita akan keluarkan biaya yang sangat besar," lanjut dia.
Bahkan, dirinya sampai memantau menu apa saja yang diberikan rumah sakit provinsi maupun kabupaten/kota untuk para pasien Covid-19.
Tujuannya, agar proses pemulihan pasien berjalan maksimal dengan asupan gizi yang baik.
Sutarmidji mengungkapkan, ada sejumlah makanan khusus yakni madu, pepaya, pisang, alpukat hingga telur rebus yang diberikan kepada pasien.
Baca juga: 80 Persen Pasien Positif Virus Corona di Kalbar Sudah Sembuh
"Kan itu saja sebenarnya obat mereka. Kalau diberikan itu paling lama 21 hari mereka udah selesai (sembuh)," tutur dia.
Selain itu, Sutarmidji juga mengevaluasi diagnosis kepada pasien.
Dia mencontohkan, jika individu berstatus orang tanpa gejala (OTG), maka tidak harus dirawat di rumah sakit.
Para OTG bisa menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat yang disiapkan pemerintah provinsi.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Jatim, DIY, Bali, NTT, NTB, Kalbar dan Kalsel 2 Juli 2020
Kemudian, Sutarmidji juga menyebut telah memberikan teguran kepada bupati/wali kota yang tidak mengedukasi masyarakat soal Covid-19.
"Misalnya ada bupati menjenguk pasien positif, itu kita ingatkan. Sebab seharusnya bisa dijenguk setelah selesai 14 hari dan sembuh," tutur dia.
"Jika demikian, bisa disalahartikan masyarakat dan membahayakan," tambah Sutarmidji.