Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Masyarakat Sipil Dukung Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kompas.com - 02/07/2020, 15:29 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari akademisi, mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia mengkritik rencana DPR yang akan menggeser Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 ke tahun 2021.

Koalisi Masyarakat Anti-Kekerasan Seksual Dukung RUU PKS itu mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera melanjutkan pembahasan.

Baca juga: Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual Minim, RUU PKS Harus Diprioritaskan

"Meminta kepada Presiden beserta Bapak/Ibu anggota Dewan, KPPA yang terhormat untuk segera menjadwalkan dan melaksanakan sidang pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual," seperti dikutip dari pernyataan dukungan terhadap pengesahan RUU PKS, yang diterima Kompas.com, Kamis (2/7/2020).

"Kedua, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual."

Koalisi memandang, ada banyak alasan untuk mendorong DPR segera mengesahkan RUU PKS. Salah satunya, belum ada peraturan perundang-undangan yang memadai terkait kekerasan seksual.

Dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual, aparat penegak hukum hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sedangkan, KUHP merupakan produk hukum peninggalan kolonial yang belum cukup mengakomodasi jaminan rasa aman dan bebas bagi masyarakat dari berbagai bentuk kekerasan seksual.

Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai lex specialis dari KUHP.

Baca juga: Alasan DPR Tarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020

Menurut koalisi, KUHP hanya mengatur kekerasan seksual berupa perkosaan dan pencabulan. Sedangkan RUU PKS cakupannya lebih luas karena memuat 9 bentuk kekerasan.

RUU PKS juga mengatur pidana pokok berupa rehabilitasi khusus kepada pelaku, yang tidak diatur dalam KUHP.

Selain itu, RUU PKS mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual di berbagai sektor, antara lain infrastruktur, pelayanan dan tata ruang, pendidikan, tata kelola kelembagaan pemerintah, ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam aspek sistem peradilan pidana, RUU PKS dinilai sebagai landasan hukum yang dapat mengakomodasi kebutuhan korban.

Baca juga: Polemik Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020

Dengan diaturnya hal-hal tersebut, RUU PKS dianggap bisa memberikan jaminan bagi korban kekerasan seksual untuk bebas dari kriminalisasi.

Di sisi lain, Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 menyebutkan, terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019. Angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178.

Sejak digagas Komnas Perempuan pada tahun 2012, pembahasan RUU PKS tak kunjung selesai, bahkan berulang kali ditunda.

Oleh karenanya, selain mendesak dilakukannya pembahasan, koalisi meminta supaya para akademisi dan masyarakat sipil dilibatkan dalam prosesnya.

Baca juga: Saat Status RUU PKS di Prolegnas Prioritas 2020 Diperdebatkan...

Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak dihapus begitu saja dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Menurut dia, RUU PKS hanya digeser dari Prolegnas Prioritas 2020 ke 2021.

"Bukan menghapus, tapi menggeser di 2021 supaya beban DPR itu tidak banyak dan tetap terbahas," kata Marwan saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/7/2020).

Ia pun menjelaskan alasan mengapa RUU PKS diusulkan ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.

Marwan mengatakan, hingga saat ini pembahasan RUU PKS belum memungkinkan karena lobi-lobi dengan seluruh fraksi di DPR masih sulit dilakukan.

Baca juga: Wakil Ketua DPR Sebut Alasan Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas Masuk Akal

"Saya dan teman-teman di Komisi VIII melihat peta pendapat para anggota tentang RUU PKS masih seperti (periode) yang lalu. Butuh ekstra untuk melakukan lobi-lobi," jelas Marwan.

Dia mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual.

Selain itu, aturan mengenai pemidanaan masih menjadi perdebatan.

"Masih seperti saat itu, yaitu judul, definisi, dan pemidanaan. Tentang rehabilitasi perlindungan. Jadi yang krusial adalah judul definisi. Definisi sebenarnya sudah hampir mendekati waktu itu," ucapnya.

*Catatan Redaksi: Ada perubahan isi dan judul karena kesalahan dalam atribusi dan pengutipan narasumber. Artikel ini sebelumnya berjudul, Ini Alasan Akademisi Terkait Urgensi Pengesahan RUU PKS.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com