JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari akademisi, mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia mengkritik rencana DPR yang akan menggeser Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 ke tahun 2021.
Koalisi Masyarakat Anti-Kekerasan Seksual Dukung RUU PKS itu mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera melanjutkan pembahasan.
Baca juga: Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual Minim, RUU PKS Harus Diprioritaskan
"Meminta kepada Presiden beserta Bapak/Ibu anggota Dewan, KPPA yang terhormat untuk segera menjadwalkan dan melaksanakan sidang pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual," seperti dikutip dari pernyataan dukungan terhadap pengesahan RUU PKS, yang diterima Kompas.com, Kamis (2/7/2020).
"Kedua, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual."
Koalisi memandang, ada banyak alasan untuk mendorong DPR segera mengesahkan RUU PKS. Salah satunya, belum ada peraturan perundang-undangan yang memadai terkait kekerasan seksual.
Dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual, aparat penegak hukum hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sedangkan, KUHP merupakan produk hukum peninggalan kolonial yang belum cukup mengakomodasi jaminan rasa aman dan bebas bagi masyarakat dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai lex specialis dari KUHP.
Baca juga: Alasan DPR Tarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020
Menurut koalisi, KUHP hanya mengatur kekerasan seksual berupa perkosaan dan pencabulan. Sedangkan RUU PKS cakupannya lebih luas karena memuat 9 bentuk kekerasan.
RUU PKS juga mengatur pidana pokok berupa rehabilitasi khusus kepada pelaku, yang tidak diatur dalam KUHP.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan