JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, pelaksanaan rapid test atau tes cepat Covid-19 sebaiknya dihentikan.
Menurut Pandu, saat ini yang harus diperbanyak justru pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
"Sebaiknya rapid test-rapid test ini distop. Tingkatkan saja PCR," ujar Pandu kepada Kompas.com, Kamis (2/7/2020)
Pandu menyebutkan, rapid test tidak masuk dalam sistem pendataan kasus Covid-19 oleh pemerintah.
Baca juga: Ombudsman: Rapid Test Bagi Calon Penumpang Kereta dan Pesawat Hanya Formalitas
Dia juga menilai rapid test mengganggu fokus pemerintah dalam memperbanyak tes PCR.
"Jadi sekarang fokus saja ke PCR yang juga merupakan bagian dari contact tracing yang masif," ujar Pandu.
Namun, dia juga menyarankan agar pemerintah mengutamakan tes bukan berdasarkan kepada penghitungan spesimen saja.
Adapun, yang harus dijadikan patokan adalah tes kepada orang per orang.
"Jadi sekarang berapa ribu orang per pekan," ujar Pandu.
Baca juga: 7 Anggota Fraksi Nasdem Reaktif, Wakil Ketua DPR Minta Seluruh Fraksi Rapid Test
Sebelumya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto menjelaskan perihal pelaksanaan rapid test yang hasilnya tidak masuk dalam sistem pelaporan data Covid-19 yang disusun pemerintah.
Menurut Yurianto, rapid test merupakan deteksi awal terhadap individu yang diduga terinfeksi Covid-19.
Dugaan tersebut berdasarkan contact tracing maupun kajian epidemiologi di suatu daerah.
"Itu hanya untuk screening awal terhadap dugaan terinfeksi dari tracing maupun kajian epidemiologi," ujar Yuri saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (27/6/2020).
Meski tidak masuk dalam pendataan pemerintah pusat, tetapi datanya disimpan oleh masing-masing daerah.
"Rapid test datanya disimpan daerah," ungkap Yuri.
Baca juga: Masa Berlaku Surat Bebas Covid-19 Diperlonggar 14 Hari, Berlaku PCR dan Rapid Test