JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Presiden Joko Widodo melakukan kontrol terhadap kinerja Polri sehubungan dengan banyaknya pelanggaran dari korps baju cokelat tersebut.
"Meminta Presiden RI sebagai atasan langsung dari Kepala Kepolisian RI memberi perhatian yang serius terhadap segenap bentuk pelanggaran dan ancaman tersebut dengan melakukan kontrol dan perubahan yang signifikan kepada Kepolisian RI," ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis, Rabu (1/7/2020).
Asfinawati juga meminta DPR melakukan tugas-tugas konstitusionalnya secara serius dalam melakukan pengawasan kepada pemerintah, termasuk Polri.
Baca juga: Catatan YLBHI untuk Polri Terkait Penanganan Kasus Novel Baswedan
Ia juga mendorong agar Polri segera menghentikan segala bentuk tindakan yang menunjukkan pelanggarannya terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Meminta Kepolisian RI kembali kepada tujuan semula dibentuknya Kepolisian RI menurut peraturan perundang-undangan khususnya TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan UU Nomor 2 Tahun 2002," kata Asfinawati.
Tak hanya itu, pihaknya juga mendesak penegakan hukum terhadap seluruh anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM.
Termasuk mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sesuai dengan ketentuan Perjanjian-Perjanjian/Kovenan HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Baca juga: Jokowi Anugerahkan Bintang Bhayangkara Nararya untuk 4 Personel Polri
"Meminta Kepolisian RI patuh pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya," tegas Asfinawati.
Sebelumnya, YLBHI membeberkan sejumlah persoalan terhadap kinerja Polri sepanjang periode 2019 hingga 2020.
Catatan persoalan itu dalam rangka perayaan HUT Bhayangkara ke-74 pada 1 Juli 2020.
Pertama, berkaitan dengan penanganan pelaporan dugaan tidan pidana penodaan agama.
YLBHI mencatat, dari 38 kasus terkait dugaan penodaan agama yang dipantau YLBHI sepanjang Januari hingga Mei 2020, sebanual 16 kasus telah diselidiki dan 10 kasus telah disidik serta ditetapkan tersangka.
Baca juga: HUT Bhayangkara ke-74, Ketua DPR Minta Polri Optimalkan Pelayanan Publik
Namun, masuk atau tidaknya perkara ini ke ranah penyelidikan dan penyidikan dinilai sangat dipengaruhi oleh desakan massa atau publik.
Artinya, alasan gangguan ketetertiban umum masih kerap menjadi alasan polisi dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
Bahkan, pasal yang digunakan untuk memidanakan pelaku semakin meluas. Terbukti dengan diberlakukannya pasal-pasal di dalam UU ITE di mana sebelumnya penyidik hanya menggunakan Pasal 156a KUHP.