JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) membeberkan permasalahan pada kinerja Polri sepanjang tahun 2019 hingga 2020.
Catatan tentang kinerja Polri tersebut diungkap dalam rangka perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-74 Bhayangkara yang jatuh pada Rabu, 1 Juli 2020.
"Selama tahun 2019-2020, YLBHI mencatat beberapa permasalahan utama berkaitan dengan Kepolisian RI," ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis, Rabu (1/7/2020).
Pertama, berkaitan dengan penanganan pelaporan dugaan tindak pidana penodaan agama.
Baca juga: Catat 38 Kasus dalam 5 Bulan, YLBHI Minta Hapus Pasal Penodaan Agama
YLBHI mencatat, dari 38 kasus terkait dugaan penodaan agama yang dipantau YLBHI sepanjang Januari hingga Mei 2020, sebanyak 16 kasus telah diselidiki dan 10 kasus telah disidik serta ditetapkan tersangka.
Namun, masuk atau tidaknya perkara ini ke ranah penyelidikan dan penyidikan dinilai sangat dipengaruhi oleh desakan massa atau publik.
Artinya, alasan gangguan ketetertiban umum masih kerap menjadi alasan polisi dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
Bahkan, pasal yang digunakan untuk memidanakan pelaku semakin meluas. Terbukti dengan diberlakukannya pasal-pasal di dalam UU ITE, di mana sebelumnya penyidik hanya menggunakan Pasal 156a KUHP.
Baca juga: Amnesty: Jokowi Luput Jawab Desakan Publik soal HAM dan Pemberantasan Korupsi
Adapun bunyi Pasal 156a KUHP adalah, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
Kedua, soal keterlibatan personel Polri dalam konflik lahan dan perampasan tanah rakyat.
Asfinawati mengungkapkan, dalam temuan laporan perampasan tanah selama pandemi Covid-19, YLBHI menemukan, polisi menjadi salah satu aktor dominan yang terlibat dalam perampasan lahan.
Baik itu untuk kepentingan modal maupun pemerintah atas nama pembangunan atau kepentingan umum.
"YLBHI menemukan dalam konflik lahan di masa pandemi Covid-19 menunjukkan polisi terlibat dalam lebih dari 75 persen konflik lahan," ungkap Asfinawati.
Ketiga, YLBHI menemukan bahwa Polri saat ini telah menjadi bagian dalam praktik-praktik otoritarianisme pemerintah.
Baca juga: Pembatalan Diskusi hingga Kasus Lelucon Gus Dur, Potret Kebebasan Berpendapat Menurun
Tanda-tanda itu antara lain adanya pembatasan penyampaian pendapat di muka umum melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2017 dan penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan.
Kemudian, menghidupkan kembali peran pejabat Polri di dalam jabatan publik, melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengkriminalkan penghina presiden dan pemberangusan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Keempat, YLBHI juga melaporkan tingginya kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian.
YLBHI mencatat, pada 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus mendapatkan pelanggaran fair trial. Aparat kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus kejahatan pelanggaran fair trial tersebut, yakni sekitar 57 persen.
Baca juga: Tak Penuhi Asas Legalitas, YLBHI Desak Penghapusan Pasal Penodaan Agama
Angka ini meningkat tajam dibandingkan Laporan Hukum dan HAM YLBHI pada 2018, yakni sebanyak 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan jumlah korban mencapai 1.144 orang.
Angka yang sangat tinggi ini diduga berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019.
Catatan selanjutnya, yakni Polri melakukan pelanggaran dalam penyelidikan dan penyidikan. Salah satunya terjadi pada penanganan kasus penyerangan penyidik KPK, Novel Baswedan.
Sejumlah catatan permasalahan tersebut disusun YLBHI selama menjalankan bantuan hukum strukturaI bersama 16 kantor LBH di 16 provinsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.