JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro meminta DPR mempertimbangkan masak-masak soal besaran ambang batas parlemen dan presiden dalam revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Siti menyatakan, RUU tidak boleh hanya demi mengakomodasi kepentingan jangka pendek untuk 2024.
"Bila revisi UU Pemilu tidak menghadirkan kebaruan yang bermanfaat, seluruh visi tidak akan mengubah apapun kecuali hanya memayungi kepentingan sesaat 2024, bisa dipastikan prospek demokrasi Indonesia akan rumit," kata Siti dalam rapat bersama Komisi II DPR, Selasa (30/6/2020).
Baca juga: Ambang Batas Parlemen Dinilai Tak Proporsional dan Penentuannya Tak Transparan
Ia meminta DPR, salah satunya, memperhatikan dampak ambang batas parlemen terhadap kelembagaan serta keikutsertaan partai dalam pemilu nantinya jika ada revisi dalam UU tersebut.
"Tolong dipertimbangkan apakah 4 persen, atau 5 persen, atau 7 persen, apa kira-kira dampaknya terhadap kelembagaan partai, terhadap keikutsertaan partai dalam pemilu dan setelahnya," katanya.
Setelahnya, DPR bisa membuat simulasi penetapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Ambang batas presiden saat ini yaitu sebesar 20 persen.
Baca juga: Ketentuan Ambang Batas Parlemen di UU Pemilu Digugat ke MK
Dia berharap segala keputusan yang diatur dalam RUU Pemilu dipikirkan manfaatnya bagi kepentingan masyarakat.
"Saya mengusulkan coba dibuat simulasi dengan cukup saksama oleh Komisi II, apakah dengan menetapkan seperti yang sudah berlaku di Pemilu 2019 bisa dilaksanakan dan ada kemanfaatannya, atau mungkin setengahnya saja," ucapnya.
"Kalau setengahnya saja, apakah memungkinkan ada kompetisi dan kontestasi atau supaya muncul calon-calon lain," lanjut Siti.
Baca juga: Wacana Revisi Parliamentary Threshold di Tengah Elektabilitas Parpol yang Merosot
Kemudian, ia juga membahas soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup.
Siti menegaskan segala pilihan yang ditetapkan DPR dan pemerintah nantinya akan memiliki konsekuensi.
Siti menegaskan penguatan sistem partai politik mesti menjadi tujuan utama dalam hal ini.
"Mau tertutup juga ada konsekuensi logis, ada dampak positif dan negatifnya, demikian pula terbuka atau semi terbuka atau tertutup. Jadi bagaimana ke depan apakah kita akan melaksanakan kembali tertutup atau setengah terbuka dan apa sebetulnya manfaatnya," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.