JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menolak permohonan "justice collaborator" yang diajukan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi.
"Menyatakan menolak permohonan justice collaborator yang diajukan oleh terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (29/6/2020).
Majelis hakim menilai, tidak cukup beralasan secara hukum untuk mengabulkan permohonan JC yang diajukan Imam bila melihat fakta-fakta persidangan dan syarat memperoleh JC.
Baca juga: Vonis 7 Tahun Penjara bagi Imam Nahrawi Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Adapun syarat memperoleh JC yang dimaksud itu diatur dalam Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2011, tepatnya pada poin nomor 9 a.
Poin tersebut menyatakan, syarat untuk menjadi JC adalah mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberi keterangan sebagai saksi dalam peradilan.
"Dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan a quo sebagaimana telah majelis hakim uraikan di atas, maka menurut majelis hakim tidak cukup beralasan secara hukum untuk dapat mengabulkan permohonan justice collaborator," ujar seorang hakim.
Sebelumnya, Imam mengajukan diri sebagai justice collaborator dalam kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya.
"Demi Allah demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim yang mulia, jaksa penuntut umum dan KPK untuk mengungkap perkara duit Rp 11 miliar itu, kabulkanlah saya sebagai JC," kata Imam saat membacakan pledoi, seperti dikutip dari Antara, Jumat (19/6/2020).
Hari ini, hakim memvonis imam bersalah. Ia dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Imam Nahrawi Divonis Bersalah, Hak Politiknya Dicabut dan Denda Rp 18 Miliar
Ia dinilai terbukti bersalah dalam kasus suap terkait pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi dari sejumlah pihak.
Imam bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, dinilai terbukti terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Suap tersebut dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora RI untuk tahun kegiatan 2018.
Imam juga dinilai terbukti menerima gratifikasi senilai total Rp 8.348.435.682 dari sejumlah pihak.
Atas perbuatannya, Imam dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 12B Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.