Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bung Karno, Sosok di Balik Nama Harian Kompas...

Kompas.com - 28/06/2020, 11:27 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, Minggu (28/6/2020), Harian Kompas tepat berusia 55 tahun, terhitung sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965 silam.

Usia 55 tahun bukanlah angka yang singkat dalam sebuah perjalanan waktu. Lebih dari separuh abad Harian Kompas turut mengawal perkembangan yang terjadi republik ini.

Berbicara mengenai nama "Kompas", ada peran besar Presiden RI pertama Soekarno, di balik pemberian nama tersebut.

Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik tegang yang terpolarisasi kala itu.

Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 terbit, ada tiga kekuatan politik besar yang muncul.

Baca juga: 52 Tahun Harian Kompas dan Warisan Jurnalisme Jakob Oetama

Pertama, Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.

Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif.

Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar.

Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI. ABRI berusaha menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat dan politik yang non atau anti-komunis.

Baca juga: 55 Tahun Harian Kompas, Panduan Masyarakat Mengarungi Informasi dan Peristiwa

Pada April 1965, Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada mantan Menteri Perkebunan Frans Seda agar mendirikan surat kabar non-partai untuk mengimbangi hegemoni surat kabar partisan.

Frans Seda yang juga merupakan tokoh katolik kemudian menemui Ketua Umum Partai Katolik Indonesia Ignatius Joseph Kasimo untuk merealisasikan gagasan tersebut.

PK Ojong dan Jakob Oetama

Duo Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong yang sebelumnya telah mendirikan majalah Intisari pada 1963 pun dilibatkan.

Pelibatan ini atas dasar keduanya memiliki pengalaman dalam memimpin surat kabar.

Dilansir dari laman Korporasi.Kompas.id, Jakob Oetama sebelumnya merupakan redaktur mingguan Penabur, sedangkan PK Ojong adalah pemimpin redaksi mingguan Star Weekly.

Baca juga: 55 Tahun Harian Kompas, Panduan Masyarakat Mengarungi Informasi dan Peristiwa

Namun, rencana pelibatan itu tidak serta merta diterima begitu saja oleh keduanya.

"Kami berdua sebenarnya enggan menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan politik, ekonomi dan infrastruktur pada masa itu tidak menunjangnya," tulis Jakob dalam Tajuk Rencana Kompas yang terbit pada 2 Juni 1980 lalu.

Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950.Arsip KOMPAS Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950.
Hal itu tidak terlepas dari pandangan politik keduanya yang menolak belenggu pemerintahan Soekarno terhadap masuknya informasi dari luar.

Lahirnya majalan Intisari pun dimaksudkan untuk mendobrak politik isolasi yang dilakukan Soekarno kala itu.

Namun pada akhirnya Jakob dan Ojong sepakat dengan persyaratan. Harian yang hendak terbit bukanlah corong partai, berdiri di atas semua golongan, bersifat umum dan berdasarkan kemajemukan Indonesia.

Kesepakatan itu dicapai dan akhirnya Yayasan Bentara Rakyat didirikan. Nama tersebut terinspirasi dari majalah Bentara yang populer di Flores.

Baca juga: Jakob Oetama Raih Penghargaan Jurnalisme dari Achmad Bakrie Award

Di balik nama Kompas

Setelah ide disepakati, tahap berikutnya adalah proses mendapatkan izin.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu bkti adanya pelanggan, setidaknya berdasarkan 3.000 tanda tangan.

Berkat bantuan Frans Seda, persyaratan itu dipenuhi. Namun, Frans Seda yang saat itu merupakan anggota kabinet, akhirnya melaporkan rencana itu kepada Soekarno.

Saat itu, nama harian yang hendak dipublikasikan adalah Bentara Rakyat.

Soekarno tak keberatan. Bahkan ia memberikan nama lain yang kelak menjadikan harian Kompas sebagai koran terbesar di Indonesia hingga kini.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus.. 'Kompas'. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.." ujar Soekarno.

Ketika dummy dengan kop Bentara Rakyat siap dicetak, usulan Bung Karno pun disampaikan dan diterima.

Wartawan Kompas saat itu, Edward Linggar, langsung menyiapkan logo dalam semalam.

Logo disetujui Jakob dan Ojong, dan dipakai hingga kini.

Kendati, logo yang ada saat ini sudah mengalami perubahan kecil, terutama dalam hal tebal dan tipisnya huruf.

Baca juga: Jakob Oetama, PK Ojong, dan Sejarah di Balik Lahirnya Kompas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com