JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) memberi rapor merah bagi para pimpinan KPK periode 2019-2023.
Rapor merah itu diberikan kepada Firli Bahuri dkk dalam rangka hasil pemantauan kinerja KPK pada Desember 2019-Juni 2020 yang bertepatan dengan enam bulan pertama masa kepemimpinan Firli Bahuri dkk.
"Ini merupakan rapor merah bagi lembaga antirasuah. Rapor merah ini sebenarnya kalau hitung-hitungan rezim kepemimpinan, dari mulai KPK berdiri, sebenarnya ini era KPK yang paling banyak problemnya," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Kamis (25/6/2020).
Kurnia menuturkan, hasil pemantauan yang dilakukan ICW dan TII menunjukkan, situasi stagnasi pemberantasan korupsi di KPK bila dilihat pada kinerja penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal KPK.
Baca juga: Firli Bahuri dkk Dapat Rapor Merah dari ICW-TII, Ini Respons KPK
Dari sektor penindakan, ICW menyoroti jumlah operasi tangkap tangan yang menurun drastis dalam enam bulan terakhir apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan catatan ICW, pada enam bulan pertama tahun 2016, KPK menggelar delapan tangkap tangan, pada 2017 ada lima tangkap tangan, pada 2018 ada 13 tangkap tangan, dan tujuh tangkap tangan pada 2019.
"Dan di 2020 zamannya Firli bahuri hanya dua. Itu pun dua banyak permasalahan. Praktis yang mungkin tidak ada permasalahan yang kasus Sidoarjo," ujar Kurnia.
Baca juga: Firli Bahuri dkk Dapat Rapor Merah dari ICW dan TII
Sementara itu, Peneliti TII Alvin Nicola menilai, fungsi pencegahan yang dilakukan KPK juga belum berjalan optimal bila melihat minimnya kepatuhan atas rekomendasi yang dikeluarkan KPK.
"Misalnya rekomendasi terkait kenaikan BPJS, Pendataan Jaring Pengaman Sosial, Penanganan Pandemi Covid, Pelaksanaan Kartu Prakerja misalnya, itu belum semua dijalankan," kata Alvin.
Menurut Alvin, rapor merah di sektor pencegahan tersebut tidak lepas dari lemahnya kewenangan KPK dalam hal penindakan.
Sementara itu, kebijakan internal KPK dinilai sering kali hanya didasari pada penilaian subyektivitas semata.
Baca juga: KPK Periksa Kakak dari Istri Nurhadi, Dalami Aliran Dana
"Bahkan dengan melihat iklim di lembaga antirasuah saat ini, praktis publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan," kata Kurnia.
Hal itu, lanjut Kurnia, terlihat dari beberapa kejadian, antara lain pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, menghadirkan tersangka saat konferensi pers, serta gimmick-gimmick politik.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghargai hasil evaluasi yang dikemukakan ICW dan TII tersebut.
"KPK menghargai inisiatif masyarakat untuk mengawasi kinerja kami. Tentu nanti kami akan pelajari kajian tersebut. Kapan perlu jika dibutuhkan, TII dan ICW kami undang untuk paparan di KPK," kaa Ali.
Namun, Ali mengklaim, terdapat sejumlah capaian KPK pada semester I tahun 2020 dari sektor penindakan dan pencegahan.
Dari sektor penindakan, Ali menyebut KPK telah mengeluarkan 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka dalam enam kasus korupsi mulai dari suap eks Komisioner KPU hingga korupsi di PT Dirgantara Indonesia.
Ali melanjutkan, KPK juga telah menangkap dua buronan, yaitu eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, serta menangkap dua tersangka kasus suap proyek di Muara Eni,
"Selama semester I ini juga telah dilakukan penahanan terhadap 27 orang tersangka," kata Ali.
Baca juga: Firli Bahuri Kembali Dilaporkan ke Dewas, Kali Ini karena Naik Helikopter Swasta
Ali juga menyebut KPK telah menyetor Rp 63.068.521.381 ke kas negara sebagai bentuk pemulihan aset dari uang denda, uang pengganti, dan rampasan.
Sementara itu, dari sektor pencegahan, Ali menyebut KPK ikut memantau penggunaan dana penanganan Covid-19, antara lain dengan melakukan kajian terkait Kartu Prakerja serta menyediakan kanal pengaduan bantuan sosial.
Ali melanjutkan, KPK juga mencatat peningkatan kepatuhan LHKPN yang siginifikan per 1 Mei 2020 menjadi 92,81 persen dari 73,5 persen pada periode yang sama tahun 2019.
Ia menambahkan, KPK juga telah menyetor uang senilai Rp 882.920.667; 7.587,44 dollar AS; 951,77 dollar Singapura; 5.140 yen; dan barang senilai Rp 65.639.340 hasil laporan penerimaan gratifikasi.
Selain kinerja pimpinan KPK, ICW juga menyoroti kinerja Dewan Pengawas KPK yang dinilai belum berjalan secara efektif sebagaimana diamanatkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Hal ini karena sejak Dewan Pengawas dilantik, praktis tidak pernah ada temuan penting terkait potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan lembaga antirasuah ini," kata Kurnia.
Baca juga: Firli Dilaporkan ke Dewas karena Dugaan Bergaya Hidup Mewah, Bagaimana Kode Etik KPK?
Kurnia mengatakan, ada banyak persoalan yang seharusnya bisa ditindaklanjuti Dewan Pengawas KPK, antara lain dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Namun, ia ragu Dewan Pengawas KPK akan bersikap tegas bila berkaca dari polemik pengembalian paksa penyidik KPK yang sempat diadukan ke Dewas dan tidak jelas hasil akhirnya.
"Jawaban saya secara pribadi, saya tidak yakin Dewan Pengawas akan berani menindak problematika dugaan pelanggaran kode etik di internal pimpinan KPK," ujar Kurnia.
Kurnia menuturkan, Dewan Pengawas KPK sebetulnya sempat ingin menunjukkan tajinya dalam mengevaluasi pimpinan KPK, tetapi di sisi lain terkesan menutup-nutupi hasil evaluasinya.
Padahal, menurut Kurnia, apabila Dewan Pengawas KPK turun tangan, dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kinerja KPK.
"Kemarin Dewan Pengawas KPK menyampaikan ada 18 evaluasi KPK. Hanya angka saja yang disampaikan. Sementara masyarakat sudah begitu gerah dengan kerja pimpinan KPK, tapi mereka juga tidak bisa menyampaikan," ucap Kurnia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.