JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis laporan situasi dan kondisi penyiksaan di Indonesia tahun 2020.
Laporan itu bersumber dari pemantauan media dan pendampingan kasus serta laporan jaringan Kontras dari berbagai daerah, selama Juni 2019 hingga Mei 2020.
Dari data tersebut, Kontras menemukan 62 praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Indonesia selama satu tahun terakhir.
Baca juga: Kontras Serahkan Amicus Curiae Kasus Penyiraman Air Keras Novel Baswedan
"Dari 62 kasus tersebut, tercatat 220 korban dengan rincian 199 orang luka-luka dan 21 orang tewas," kata Peneliti Kontras Rivanlee Anandar dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Kamis (25/6/2020).
Kontras menemukan, pelaku praktik penyiksaan tersebut didominasi oleh anggota kepolisian.
Dari 62 peristiwa, 48 kasus terjadi di lingkungan kepolisian. Kemudian 9 kasus dari TNI dan 5 kasus dari sipir yang bertugas di lembaga pemasyarakatan.
48 praktik penyiksaan di institusi Polri itu mayoritas terjadi di Polres,yaitu 28 kasus, disusul Polsek 11 kasus dan Polda 8 kasus.
Rivanlee mengatakan, praktik penyiksaan sering digunakan sebagai metode penyidikan oleh polisi. Aparat menggunakan praktik itu sebagai jalan pintas untuk mendapat pengakuan dari tersangka dan/atau korban terkait kasus yang disangkakan.
Tidak hanya itu, penyiksaan juga sering digunakan polisi untuk menunjukkan relasi kuasa. Akibatnya, timbul tindakan arogansi aparat terhadap masyarakat.
Baca juga: Kontras Minta Pemerintah Bentuk Tim Independen Investigasi Korban Penembakan TNI di Papua
Temuan ini sejalan dengan data korban penyiksaan yang sebagian besar atau 48 di antaranya berstatus warga sipil. Kemudian, terdapat 14 tahanan atau pelaku kriminal yang juga tercatat sebagai korban.
Kontras juga menemukan bahwa 40 kasus penyiksaan dilakukan aparat untuk mendapat pengakuan dari tersangka dan/atau korban. Lalu, ada 22 kasus penyiksaan yang motifnya penghukuman murni.
Praktik penyiksaan juga ternyata kerap kali didominasi oleh kasus salah tangkap. Ada 46 praktik penyiksaan pada kasus salah tangkap dan 16 praktik penyiksaan pada kasus murni kriminal.
Berdasar sebarannya, peristiwa penyiksaan paling banyak terjadi di Sulawesi Selatan dengan 9 kasus, DKI Jakarta 8 kasus, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 6 kasus.
"Bentuk penyiksaan pada tiga provinsi tersebut terjadi pada kasus seperti salah tangkap, pembubaran aksi, penyiksaan anak, dan penyiksaan tahanan," ujar Rivanlee.
Baca juga: Kontras: Penetapan Peristiwa Paniai sebagai Pelanggaran HAM Berat Sudah Tepat
Rivanlee menuturkan, praktik penyiksaan juga banyak terjadi di sel tahanan. Ada 34 kasus penyiksaan di sel tahanan dengan rincian 27 kasus di sel tahanan kepolisian, 1 kasus di tahanan militer dan 1 kasus di lapas.
Praktik tersebut juga terjadi di ruang publik sebanyak 29 kali dalam satu tahun terakhir, yakni di hotel, rumah kosong, halaman gedung, hingga area perumahan warga.
Temuan Kontras menyebutkan bahwa tindakan penyiksaan didominasi dengan "tangan kosong" seperti pemukulan sebanyak 49 kasus. Kemudian menggunakan senjata api 13 kasus, benda keras 12 kasus, listrik 4 kasus dan senjata tajam 2 kasus.
"Metode ini menyebabkan luka-luka seperti lebam, lecet, hingga kerusakan pada tulang dan fungsi organ tubuh bagian dalam. Metode penyiksaan seperti ini juga mengakibatkan tekanan dalam bentuk psikologis," ujar Rivanlee.
Baca juga: Dengar Pernyataan Mahfud, Kontras Pesimistis Penegakan Hukum di Papua Membaik
Dari temuan ini, ada beberapa hal yang direkomendasikan Kontras.
Pertama, evaluasi menyeluruh institusi Polri, TNI, maupun lembaga pemasyarakatan. Kontras meminta supaya evaluasi ini melibatkan pengawasan eksternal.
Kedua, Kontras meminta institusi-institusi negara independen yang punya kewenangan pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan menggunakan alat ukur terpercaya untuk mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan penyiksaan.
"Ketiga, merumuskan merumuskan peraturan perundang-undangan nasional khusus mengenai penghapusan praktik penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan manusia lainnya dengan mengacu pada keseluruhan substansi yang terkandung dalam UN CAT (Kovensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Penyiksaan," kata Koordinator Kontras Yati Andriyani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.