JAKARTA, KOMPAS.com - Pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 silam berujung ke meja hijau.
Saat itu, aksi unjuk rasa memprotes diskriminasi dan tindak rasisme yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang, muncul di Tanah Papua. Sayangnya, aksi berujung kerusuhan.
Pemerintah berdalih, pembatasan akses dilakukan untuk mengurangi penyebaran berita bohong maupun konten negatif.
Sebab, menurut Polri, hoaks dan konten negatif berkontribusi memicu demonstrasi.
Baca juga: Presiden RI Divonis Bersalah soal Blokir Internet di Papua, Ini Kata Istana
Tindakan tersebut kemudian digugat oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Pihak tergugat 1 adalah Menteri Komunikasi dan Informatika, sedangkan tergugat 2 adalah Presiden Republik Indonesia.
Setelah melalui proses sidang, majelis hakim PTUN Jakarta memutus bahwa kedua tergugat bersalah atas pemblokiran internet tersebut.
"Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan tergugat 1 dan 2 adalah perbuatan melanggar hukum,” kata Hakim Ketua Nelvy Christin dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (3/6/2020).
Baca juga: Divonis Langgar Hukum soal Blokir Internet Papua, Ini Tanggapan Menkominfo
Menurut majelis hakim, internet bersifat netral, dapat digunakan untuk hal positif maupun negatif.
Majelis hakim berpandangan, yang seharusnya dibatasi adalah konten yang melanggar.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan