Dalam penjelasannya, Fickar mengartikan kata politik sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan negara atau segala tindakan hingga siasat pemerintahan suatu negara.
Menurut dia, kejahatan politik sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara.
Maka dari itu, delik politik adalah delik dalam undang-undang hukum pidana politik yang menggunakan motif politik.
"Sedangkan motivasi politik adalah menyalahi (membahayakan atau mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan," tutur dia.
Baca juga: Veronica Koman: Mau Bicara soal Papua Memang Sulit Setengah Mati
Secara sosiologis, menurut Fickar, kejahatan terhadap keamanan negara disebut sebagai kejahatan politik.
Ia menuturkan, terdapat dua bentuk kejahatan terhadap negara.
Pertama, kejahatan terhadap pemerintah. Salah satu contohnya adalah keinginan mengubah struktur pemerintah di luar konstitusi.
Ada pula kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, serangan atau ancaman terhadap hak-hak asasi warga atau penyalahgunaan wewenang.
Baca juga: Empat Warga Papua Terlibat Kerusuhan Terbukti Makar, Vonis Hakim Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Menanggapi pernyataan Polri tersebut, Amnesty International Indonesia mengatakan, ketujuh terdakwa tidak melakukan aksi kriminal.
Diketahui, ketujuhnya ditangkap pada September 2019 setelah kerusuhan di Papua. Saat itu, aksi protes terhadap tindakan rasisme yang diterima mahasiswa asal Papua di Jawa Timur berujung anarkistis.
Menurut Amnesty, ketujuhnya hanya menyampaikan pendapat dalam aksi tersebut.
"Perbuatan mereka bukan aksi kriminal," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid ketika dihubungi Kompas.com, Rabu.
"Ketujuh aktivis Papua di Balikpapan itu jelas tergolong tahanan hati nurani atau tahanan politik, karena mereka hanya menyuarakan kebebasan berpendapat dan berekspresi secara damai," tuturnya.
Baca juga: 7 Terdakwa Makar asal Papua Tak Berbuat Kriminal, Amnesty Tetap Anggap Tapol