Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditundanya Pembahasan RUU HIP dan Sikap Tiga Ormas Keagamaan...

Kompas.com - 18/06/2020, 06:26 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Icha Rastika

Tim Redaksi

Pada tahun 2000, sempat muncul kelompok yang ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945.

PBNU berpandangan, keberadaan RUU HIP justru akan kembali menyeret Indonesia pada konflik ideologi semacam itu.

"RUU HIP justru memberi ring kontestasi ideologi itu," ujar Rumadi.

Baca juga: PBNU: Persoalan RUU HIP Bukan Sebatas Ada Tidaknya TAP MPRS XXV

Ia juga mengatakan, persoalan RUU HIP bukan hanya sebatas tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 soal Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunis/Marxisme sebagai konsideran RUU.

Namun, masih banyak persoalan lainnya seperti landasan pemikiran dan sejumlah pasalnya yang menyangkut Trisila dan Ekasila.

"Soal TAP MPRS itu hanya salah satu persoalan," kata dia.

3. Masukan PP Muhammadiyah

PP Muhammadiyah  juga menyambut baik langkah pemerintah menunda pembahasan RUU HIP.

Namun, langkah itu dinilai belum cukup. Pemerintah dan DPR diminta menghentikan serta mencabut RUU HIP, dan tak mengajukan RUU serupa lagi.

"DPR dan pemerintah tidak perlu mengajukan lagi RUU Pengganti RUU HIP dengan nama apapun juga," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

PP Muhammadiyah menyarankan agar pemerintah lebih dulu bersurat resmi kepada DPR terkait penundaan pembahasan RUU ini.

Keterangan lisan yang disampaikan oleh Mahfud MD saja dinilai tidak cukup.

Setelah pemerintah menyampaikan surat, barulah DPR mengambil keputusan mencabut RUU tersebut.

Mu'ti mengatakan, RUU HIP tidak hanya bermasalah secara substansi, tetapi juga dalam hal urgensi.

Menunda untuk kemudian melanjutkan pembahasan RUU ini dinilai akan kembali menimbulkan kegaduhan dan penolakan.

"DPR hendaknya memenuhi arus besar masyarakat yang menolak RUU HIP," kata Mu'ti.
Menurut dia, DPR perlu mengambil langkah cepat untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

"Keputusan DPR perlu ditetapkan pada kesempatan pertama untuk memastikan dan memberikan kepercayaan masyarakat bahwa RUU HIP benar-benar dihentikan pembahasannya atau dicabut," kata dia.

Mu'ti sebelumnya menyampaikan bahwa pembahasan RUU menyangkut Pancasila tak ada urgensinya. Sebab, Pancasila telah memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat sebagai dasar negara.

"Landasan perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur dalam TAP MPRS No XX/1966 juncto TAP MPR No V/1973, TAP MPR No IX/1978 dan TAP MPR No III/2000 beserta beberapa regulasi turunan turunannya sudah sangat memadai," kata Mu'ti.

Baca juga: PP Muhammadiyah Minta DPR dan Pemerintah Cabut RUU HIP

Ia khawatir, bila RUU HIP disahkan maka dapat menurunkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.

Terlebih, ada sejumlah materi yang dinilai bertentangan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Bab III Pasal 5, 6, dan 7.

Selain itu, pembentukan RUU HIP juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan yang tepat sesuai peraturan perundang-undangan.

"Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Nasional
Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com