Sebab, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang dicantumkan dalam RUU HIP adalah konsep ketuhanan yang berkebudayaan.
Padahal, makhluk yang berkebudayaan itu adalah hanya manusia. Dengan Trisila, konsep ketuhanan menjadi harus tunduk dan patuh kepada manusia.
Sementara itu, konsep Ekasila menunjukkan gotong royong. Makhluk yang hidupnya bergotong royong, lanjut Anwar, adalah manusia.
"Jadi di dalam konsep ekasila ini yang menjadi penentu dan yang ingin mereka usahakan untuk benar-benar menjadi maha penentu di negeri ini adalah manusia, bukan lagi Tuhan," kata dia.
Anwar mengatakan bahwa memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Sebab, Pancasila yang terdiri dari 5 sila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah dan urutannya pun tidak boleh diubah.
"Mengubah-ubahnya dengan berbagai cara menjadi Trisila dan Ekasila jelas merupakan sebuah perbuatan yang tidak bertanggung jawab serta sangat-sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa ini ke depannya karena yang namanya trisila dan ekasila itu adalah jelas-jelas bukan Pancasila," tutur dia.
Baca juga: Mahfud: Bagi Pemerintah, Pancasila Dimaknai dalam Satu Tarikan Napas
2. Kritik PBNU
PBNU mengapresiasi keputusan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, RUU HIP merupakan "bara panas" yang bisa terus membakar situasi.
Dengan menunda pembahasan, bara panas itu untuk sementara waktu dapat dihindarkan.
"PBNU sangat mengaprsiasi keputusan pemerintah untuk mengambil sikap dengan cepat," kata Rumadi kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).
"RUU HIP itu bara panas, malau dipegang terus akan terbakar. Alhamdulillah, pemerintah cepat melepas bara panas itu," kata dia.
Rumadi mengatakan, penundaan pembahasan RUU HIP mendinginkan suasana politik. Pemerintah dinilai cukup mendengar aspirasi masyarakat terkait hal ini.
Selain itu, langkah ini juga dipandang dapat menghindarkan terjadinya konflik ideologi di Indonesia.
"Saya bersykur karena bangsa Indonesia bisa terhindar dari potensi konflik ideologi," ujar Rumadi.
Baca juga: Pemerintah Tunda Pembahasan RUU HIP, PBNU: Itu Bara Panas...
PBNU menyarankan supaya ke depan RUU ini tidak dibahas lagi.
Alih-alih menyusun aturan terkait ideologi, pemerintah dan DPR diminta fokus membuat aturan mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang merupakan lembaga pembinaan dasar negara.
"Lebih baik RUU BPIP saja, karena saya dengar sebenarnya maksud awal dari RUU ini sebenarnya untuk memperkuat BPIP. Jadi fokus ke itu saja, tidak melebar kemana-mana," kata Rumadi.
Ia juga sebelumnya menyampaikan bahwa RUU HIP membuka ruang terjadinya konflik ideologi.
RUU ini dipandang tidak sensitif pada sejarah pertarungan ideologi yang pernah dialami Indonesia.
"RUU ini disusun dengan cara yang sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi," kata dia.
Menurut Rumadi, saat Indonesia didirikan, sudah terjadi pertarungan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.
Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Tahun 1959, benturan ideologi kembali terjadi dengan munculnya kelompok Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Akibatnya, muncul Dekrit Presiden 1959.