Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditundanya Pembahasan RUU HIP dan Sikap Tiga Ormas Keagamaan...

Kompas.com - 18/06/2020, 06:26 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) disambut baik tiga organisasi masyarakat (ormas) Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah bahkan meminta pembahasan RUU bukan hanya ditunda, tetapi juga tak dilanjutkan atau dicabut.

Pengumuman penundaan pembahasan RUU ini sendiri disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Selasa (16/6/2020).

"Terkait RUU HIP, pemerintah menunda untuk membahasnya," ujar Mahfud dikutip dari akun Twitter-nya, Selasa.

Baca juga: PP Muhammadiyah Minta DPR dan Pemerintah Cabut RUU HIP

Mahfud mengatakan, pemerintah meminta DPR, sebagai pengusul RUU HIP, untuk lebih banyak menyerap aspirasi masyarakat.

Di sisi lain, kata Mahfud, pemerintah tengah berkonsentrasi menanggulangi pandemi Covid-19.

"Pemerintah masih lebih fokus dulu untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menko Polhukam dan Menkum HAM diminta menyampaikan ini (keputusan tunda pembahasan)," kata dia.

Merujuk hal tersebut, pemerintah pun memutuskan untuk tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR guna membahas RUU HIP.

1. Sikap MUI

MUI menilai bahwa keputusan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP adalah langkah tepat.

MUI bahkan menyarankan supaya pembahasan bukan hanya ditunda, tetapi juga tak dilanjutkan.

"Bagus, dan yang lebih bagus lagi kalau DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasannya," kata Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Anwar menyebut bahwa secara logika hukum, keberadaan RUU HIP aneh.

RUU tersebut mengatur soal Pancasila, padahal Pancasila merupakan sumber hukum itu sendiri.

Baca juga: Pembahasan RUU HIP Ditunda Pemerintah, MUI: Lebih Baik Tak Dilanjutkan

Pancasila merupakan dasar yang memberi napas dan menjiwai UUD 1945, sedangkan UUD 1945 adalah undang-undang tertinggi.

Di bawah UUD, ada undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

"Lalu timbul pertanyaan, kok Pancasila-nya dijadikan dan diolah jadi undang-undang? UU itu kan di bawah UUD 1945," ujar Anwar.

"Semestinya semua undang-undang yang ada di negeri ini dinapasi dan dijiwai oleh Pancasila," kata dia. 

Mengatur Pancasila dalam sebuah undang-undang, kata Anwar, berarti merusak Pancasila itu sendiri.

Sebelumnya Anwar menyampaikan bahwa RUU ini bersifat sekuler dan ateistik sehingga menyimpang dari kesepakatan para Founding Fathers ketika mendirikan bangsa Indonesia.

"Konsep yang mereka usung dalam RUU ini sudah jelas sangat-sangat sekuler dan ateistik serta benar-benar sudah sangat jauh menyimpang dari kesepakatan yang pernah dibuat oleh para The Founding Fathers kita dahulu ketika mereka membentuk dan mendirikan bangsa dan negara ini," kata dia.

Anwar mengatakan, sila pertama dan utama dari Pancasila itu sendiri adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, segala sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta demokrasi dan keadilan sosial, seluruhnya harus dijiwai dan dimaknai oleh sila pertama itu.

Namun demikian, menurut Anwar, pandangan tersebut hendak dihilangkan melalui RUU HIP dengan adanya pasal dalam RUU yang mengatur tentang pemerasan Pancasila menjadi Trisila atau bahkan Ekasila.

Baca juga: Kritik MUI Terhadap RUU HIP: Sekuler dan Ateistik

Konsep Trisila dinilai Anwar sebagai degradasi konsep ketuhanan yang harus tunduk kepada manusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejauh Mana 'Amicus Curiae' Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Sejauh Mana "Amicus Curiae" Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Nasional
Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Nasional
TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

Nasional
Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Nasional
Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | 'Amicus Curiae' Pendukung Prabowo

[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | "Amicus Curiae" Pendukung Prabowo

Nasional
Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com