Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Kelompok Islam Ramai Kritisi Pembahasan RUU HIP

Kompas.com - 16/06/2020, 13:49 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah kelompok islam menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dilanjutkan.

Selain tidak adanya urgensi di dalam pembahasannya, RUU tersebut dinilai berpotensi membuka ruang pertarungan ideologi serta bersifat sekuler dan ateistik.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan, Pancasila yang berlaku saat ini memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat sebagai dasar negara. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut.

Padahal, berdasarkan Pasal 5 huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undanganan, asas pembentukan suatu RUU yaitu kedayagunaan dan kehasilgunaan.

"RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi UU," kata Mu'ti dalam konferensi pers virtual di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (15/6/2020).

Baca juga: PKS: Aneh jika TAP MPRS Larangan Komunisme Tak Dijadikan Rujukan RUU HIP

Polemik Trisila dan Ekasila

Salah satu klausul yang cukup disorot yaitu ihwal keberadaan konsep Trisila dan Ekasila, serta frasa 'Ketuhanan yang Berkebudayaan'.

Menurut Mu'ti, memasukkan ketiga hal tersebut karena alasan historis kurang tepat. Sebab, banyak elemen yang dapat menuntut hal itu karena alasan yang sama.

Di dalam draf RUU HIP, konsep tersebut tertuang di dalam Pasal 7 yang terdiri atas tiga ayat, yakni:

1. Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

2. Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

3. Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristailisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan, Pancasila merupakan norma fundamental yang kuat bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Pasalnya, Pancasila harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisah-pisah dan urutannya juga tidak boleh diubah.

"Mengubah-uubahnya dengan berbagai cara menjadi Trisila dan Ekasila jelas merupakan sebuah perbuatan yang tidak bertanggung jawab serta sangat-sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa ini ke depannya karena yang namanya trisila dan ekasila itu adalah jelas-jelas bukan Pancasila," kata Anwar.

Baca juga: PPP Minta TAP MPRS Larangan Komunisme Masuk sebagai Konsideran RUU HIP

Lebih jauh, ia menambahkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, serta demokrasi dan keadilan sosial, harus dijiwai dan dimaknai dengan sila pertama Pancasila, yaitu 'Ketuhanan Yang Maha Esa'.

Namun, pandangan tersebut terkesan hendak dihilangkan dengan adanya pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.

Ia menilai, konsep Trisila merupakan degradasi dari konsep ketuhanan yang harus tunduk kepada manusia. Sebab, konsep 'Ketuhanan Yang Maha Esa' yang dicantumkan dalam RUU HIP adalah konsep 'Ketuhanan yang Berkebudayaan'.

Padahal, makhluk yang berkebudayaan itu adalah hanya manusia. Dengan Trisila, konsep ketuhanan menjadi harus tunduk dan patuh kepada manusia.

Sementara, konsep Ekasila menunjukkan gotong royong. Makhluk yang hidupnya bergotong royong, lanjut Anwar, adalah manusia.

"Jadi di dalam konsep ekasila ini yang menjadi penentu dan yang ingin mereka usahakan untuk benar-benar menjadi maha penentu di negeri ini adalah manusia, bukan lagi Tuhan," kata dia.

Baca juga: PDI-P Setuju Tambah Larangan terhadap Komunisme sebagai Konsideran RUU HIP

Pertarungan ideologi

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, landasan pemikiran Trisila dan Ekasila yang masuk ke dalam RUU tersebut dapat memunculkan pertarungan ideologi.

Padahal, seharusnya seluruh pihak dapat menjaga Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara.

"RUU ini disusun dengan cara yang sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi," kata Rumadi saat dihubungi Kompas.com.

Ketika Indonesia didirikan, sudah terjadi pertarungan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.

Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Ketujuh kata itu yakni "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Penghapusan tersebut terjadi setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan dan diterima di dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Baca juga: Piagam Jakarta: Isi dan Kontroversinya

Meski demikian, tidak sedikit umat islam yang kemudian protes. Baik itu melalui jalur pemberontakan maupun jalur politik.

Bahkan, pada tahun 1959 sempat terjadi benturan ideologi karena muncul kelompok islam yang ingin menjadikan islam sebagai dasar negara. Akibatnya, muncul Dekrit Presiden 1959.

Pada tahun 2000, sempat muncul kelompok yang ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945.

PBNU pun berpandangan keberadaan RUU HIP justru akan kembali menyeret Indonesia pada konflik ideologi semacam itu.

"RUU HIP justru memberi ring kontestasi ideologi itu," ujar Rumadi.

Sebelumnya diberitakan, RUU HIP telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna yang digelar pada 12 Mei 2020.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, mulanya RUU HIP diusulkan PDI-P kemudian menjadi usul inisiatif Baleg DPR.

Hingga saat ini, RUU HIP belum mulai dibahas DPR dan pemerintah karena masih menunggu surat presiden (supres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM).

"Menunggu surpres," kata Awi saat dihubungi, Sabtu (13/6/2020.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com