JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (9/6/2020), menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Rapat secara virtual yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Willy Aditya ini membahas tentang dua pasal tentang pers yang diatur dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana mengatakan, komunitas pers mempertanyakan alasan pemerintah memasukkan dua pasal tentang pers dalam RUU Cipta Kerja.
"Alasannya (pemerintah) apa? Sebab, pemerintah bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam mengembangkan usaha pers. Selanjutnya, untuk menghindari peran monopolistik dari pemerintah dalam pengembangan usaha pers. Ini yang menjadi usaha kami," kata Yadi.
Baca juga: Ketua Kadin Sebut RUU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Pangkas Obesitas Regulasi
Diketahui, dua pasal tersebut adalah Pasal 11 dan Pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pasal 11 dalam UU Pers menjadi Pasal 87 di RUU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Yadi juga meminta, pemerintah mencabut dua ayat dalam Pasal 18 dalam RUU Cipta Kerja direvisi dari UU Pers, terutama ayat 3 dan 4 yaitu terkait adanya aturan pemerintah.
Sebab, hal ini akan membuat pemerintah lebih jauh mengatur media dan pers. Sedangkan dalam UU Pers disebutkan bahwa tidak ada aturan di bawahnya yang mengatur media dan pers karena sudah ada Dewan Pers.
Baca juga: LBH Pers: HAM Masih Bisa Diperjuangkan dalam Negeri Ini
"Hal ini membuka peluang pemerintah melalui RUU ini untuk menerbitkan aturan pemerintah mengatur pers. Sedangkan di UU nomor 40 tahun 99 jelas bahwa pers itu tidak ada aturan di bawahnya, karena sudah ada dewan pers yang mengatur pers di sini," ujar dia.
Dalam draf RUU Cipta Kerja Pasal 18 menyebutkan, pemerintah menaikkan empat kali lipat denda atas ayat 1 dan ayat 2 dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.
Adapun ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar".
Kemudian ayat 2 berbunyi: "Bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar".
Lalu, ayat 3 yang berbunyi: "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif".
Baca juga: Ancaman Pekerja Pers di Tengah Pandemi Covid-19: PHK, Kekerasan, hingga Kebebasan
Terakhir ayat 4 yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Menanggapi hal tersebut, Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo mengatakan, media dan pers sudah cukup bagus diatur dalam undang-undang sendiri.
Oleh karenanya, ia menyetujui pasal tentang pers dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
"Sepengetahuan saya pada waktu sosialisasi sejak awal, yang namanya UU Pers tidak masuk ranah RUU Ciptaker. Oleh karena itu, sikap fraksi Partai Golkar daripada ini menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian yang lebih jelas dari UU yang sudah ada, saya mengusulkan secara konkret, Fraksi Partai Golkar usulkan yang terkait media dan pers didrop dari RUU Ciptaker," kata Firman.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari juga mempertanyakan alasan pemerintah memasukkan pasal tentang pers dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Ia mengatakan, akan meminta penjelasan dari pemerintah terkait masuknya pasal tentang pers dalam RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Baleg Sepakati 10 DIM Klaster UMKM dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja
"Saya sudah pelajari beberapa pasal yang terkait dengan pers, memang timbul pertanyaan saya, kenapa kemudian perlu dibahas hal-hal yang terkait pers ini di dalam RUU Cipta Kerja, relevansinya seperti apa?," kata Taufik.
"Oleh karena itu, dalam rapat kerja dengan pemerintah saya akan mempertanyakan apa alasan pemerintah mesti dimuat tentang pers di RUU Ciptaker," lanjut dia.
Taufik juga mengatakan, jika alasan pemerintah tidak kuat dalam memasukkan pasal pers dalam RUU Cipta Kerja, maka sebaiknya pasal tersebut dikeluarkan dari RUU sapu jagat tersebut.
"Kalau argumentasinya tidak kuat, dan ternyata tidak perlu diatur dalam RUU Cipta kerja ini kemudian kita mengamini apa yang disampaikan pak Firman tadi. Keluarkan saja, agar kita fokus pada kemudahan berusaha dan perizinan," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.