JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak dihapusnya sejumlah pasal mengenai penodaan agama karena tidak memenuhi asas legalitas.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, pasal mengenai penodaan agama tersebut terdapat di KUHP, Undang-Undang Ormas, serta Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang mengkriminalilasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak berekspresi lainnya," ujar Asfinawati dalam diskusi daring, Selasa (9/6/2020).
Baca juga: YLBHI Catat 38 Kasus Penodaan Agama dalam Lima Bulan
Menurut dia, selama ini terjadi perluasan penggunaan pasal untuk perbuatan yang dianggap telah melakukan penodaan agama.
Terlebih, dalam penggunaan pasal tersebut juga diperparah dengan tidak adanya definisi yang jelas.
Sehingga hal itu menyebabkan penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, terutama untuk kasus yang digambarkan sudah "viral".
Untuk itu, menurut Asfinawati, gangguaan ketertiban umum masih menjadi alasan untuk menangkap atau memproses kasusnya.
"Penegakan hukum cenderung dipengaruhi oleh tekanan publik dalam hal ini ada kesamaan pernyatan dari kepolisian yang sudah viral," ucap dia.
"Kalau UU ITE pasti akan ada kata jimatnya, kasus ini sudah viral sehingga harus ditindaklanjuti," kata Asfinawati.
Baca juga: Komnas Perempuan Catat Ada Diskriminasi dalam Kasus Penodaan Agama
Asfinawati juga menambahkan, selama ini kasus penodaan agama dianggap sama dengan penistaan agama.
"Dalam beberapa kasus kata penistaan agama lebih populer dari penodaan agama," kata dia.
YLBHI mencatat terdapat 38 kasus penodaan agama yang terjadi sejak Januari hingga Mei 2020.
Pasal yang digunakan dalam menjerat kasus penodaan tersebut meliputi Pasal 156a KUHP, Pasal 59 (3) UU Ormas, dan Pasal 28 (2) Jo 45a (2) UU ITE.
Adapun sebaran 38 kasus penodaan itu terjadi di 16 provinsi yang meliputi Sulawesi Selatan 6 kasus, Jawa Timur 5 kasus, Maluku Utara 5 kasus, Jawa Barat 4 kasus, dan Sumatera Utara 4 kasus.
Kemudian, Kalimantan Selatan 2 kasus, Kepulauan Riau 2 kasus, DKI Jakarta 2 kasus, Bali 1 kasus, Gorontalo 1 kasus, dan Jambi 1 kasus.
Selanjutnya, NTB 1 kasus, Papua 1 kasus, Riau 1 kasus, Sulawesi Utara 1 kasus, dan Sumatera Selatan 1 kasus.
Baca juga: Oknum Anggota Ormas Diamankan Polisi karena Aniaya Tokoh Agama
Dari total penemuan kasus penodaan agama tersebut, terdapat 11 kasus yang belum ditetapkan.
Kemudian, 8 kasus menggunakan Pasal 156a KUHP, 7 kasus dengan Pasal 45a (2) UU ITE, 6 kasus dengan Pasal 156a jo 45a (2), 3 kasus tidak diketahui, 1 kasus Pasal 27 (3) UU ITE, dan 1 kasus pasal 27 (3) jo 45a (2) UU ITE.
Kasus tersebut juga dianggap sebagai penodaan agama oleh publik, aparat penegak hukum, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Kasus itu mulai dari penafsiran agama, dituduh menghina agama, hingga mengaku-ngaku Islam. Termasuk menggunakan logo kepala anjing untuk nasi bungkus dan membubarkan shalat Jumat dalam rangka protokol kesehatan Covid-19.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.