Kehadiran DPR menunjukkan daulat rakyat yang mengimbangi pemerintah. Tentu dengan syarat, DPR semakin terakumulasi kapital karakternya mendekati otensitas suara publik.
Demikian juga ketika ada kritik, beda pandangan dan pendapat—misalnya---dalam menangani pandemi, pemerintah tidak boleh membungkam suara yang berbeda sebab terdapat Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat.
Tentu kebebasan ini juga ada batasnya selama tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat tindak pidana yang diatur terang benderang dalam pelbagai aturan hukum.
Demokrasi kita memang telanjur dipersepsi selalu demokrasi konsensus. Tabiatnya melembekkan berbagai perbedaan dan menghomogenisasi publik.
Padahal, menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, “mustahil mengandaikan homogenitas dalam kondisi politik demokrasi yang plural”.
Maka, mendesak demokrasi diradikalkan dengan bukan mengabaikan konflik namun mengolah konflik/antagonisme dalam bingkai demokrasi.
Hal ini diawali dengan mengidentifikasi kelompok yang bertentangan bukan sebagai musuh melainkan lawan yang bersahaja (friendly enemy).
Dengan begitu pandangan buruk akan konflik akan berkurang dan pluralisme atau kemajemukan dipandang positif (Boni Hargens, 2006:95-96).
Jadi, kematangan demokrasi akan melihat perbedaan adalah keniscayaan. Seperti pelangi indah karena berwarna warni. Jika satu warna, rasanya pelangi hilang keindahannya.
Jadi, mengelola perbedaan, merawat kontra gagasan akan melahirkan suatu kebijakan publik yang sarat dengan nutrisi pertimbangan yang cukup (deliberasi). Publik dirangsang untuk memikirkan---seperti pandemi Covid 19—sebagai bukan urusan pemerintah belaka. Tapi menjadi bagian dari kepentingan bersama.
Dengan begitu, ketika pemerintah meluncurkan kebijakan New Normal menghadapi pandemi Covid 19, publik akan selaras seirama menyesuaikan arah kebijakan negara sehingga dapat hidup lebih baik di tengah pandemi dengan disiplin mematuhi protokol kesehatan.
Selain itu, hukum tidak boleh ditinggal ketika membalut kebijakan. Sebab, jika hukum tertinggal, maka trias tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan akan menjadi rusak.
Kita harus belajar dari kerusuhan di Amerika Serikat ketika hukum melakukan diskriminasi, kemarahan publik sukar dibendung.
Hukum wajib menjadi perekat perbedaan untuk menghasilkan arah yang lebih baik. Dengan catatan, hukumnya diproduksi dari proses demokrasi yang optimal serta diadopsinya asas-asas dan prinsip-prinsip hukum universal sebagai basis pematangan kemanusiaan.
Pada akhirnya, tubuh demokrasi di lorong pandemi merupakan batu uji bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengharmonisasikan langkah menghadapi pandemi Covid-19 dengan sinergi. Hal itu baru bisa tercapai jika semua pihak dewasa menghadapi masalah.
Hadits Nabi (HR Bukhari dan Muslim) mengatakan “orang yang kuat adalah orang yang bisa, sanggup, dan mampu mengendalikan dirinya sendiri ketika dia sedang marah”.
Penulis rasa ini berlaku baik bagi negara maupun warganya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.