Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawir Aziz
Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Penulis Sejumlah Buku

Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, menulis buku Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan (Kompas, 2020) dan Melawan Antisemitisme (forthcoming, 2020).

Populisme Politik dan Gelombang Rasialisme di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 08/06/2020, 11:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

GELOMBANG pandemi Covid-19 mengentak manusia di pelbagai negara. Dunia seakan melambat, mengharuskan perubahan ritme kehidupan manusia. Virus Corona mengajak kita semua untuk jeda, berhenti sejenak dari pusaran aktivitas dan pekerjaan mengejar materi yang tak pernah surut.

Efek mengerikan dari Covid-19 sudah kita lihat, seiring dengan informasi yang melimpah di genggaman. Bahkan, kejutan terus bertambah dengan berita duka dari teman-teman kita. Dari laman media sosial, saya mendapati hampir setiap hari ada kabar duka, mereka yang meninggal karena serangan Covid-19. Air mata mengalir di tiap detik kabar kematian.

Meski telah banyak ahli dan saintis yang mewanti-wanti bahaya virus corona, serta bagaimana seharusnya bersikap, para pemimpin politik yang beraliran populis tampak cenderung meremehkan, menganggap enteng, seraya mengingkari saran ahli dari periset ilmu pengetahuan.

Ungkapan-ungkapan bahwa Covid-19 sebagai flu biasa, hanya konspirasi, dan sebagainya, berseliweran dari pernyataan publik para pejabat yang cenderul bersikap menolak fakta pengetahuan. Kondisi ini terjadi di Amerika Serikat, Brasil, dan juga Indonesia.

Presiden Donald Trump beberapa kali menyatakan ke publik bahwa virus corona itu justru memberi dampak positif bagi ekonomi Amerika Serikat. Menurut Trump, virus corona punya kemungkinan memberikan akhir yang bagus (have a very good ending for us) dan mendorong lapangan kerja (boost job) di Amerika Serikat.

Dalam sebuah agenda di South Carolina, Donald Trump menegaskan bahwa virus corona masih dalam kontrol otoritas Amerika Serikat. Ia juga menganggap kubu politisi Partai Demokrat sengaja menyebar hoaks terkait Covid-19 semata demi menjatuhkan popularitasnya sekaligus membuka peluang pertarungan politik dalam kontestasi calon presiden.

Trump memainkan politic of blaming terhadap lawan-lawan politiknya, khususnya dari kubu Partai Demokrat Amerika.

Tak hanya itu, Donald Trump juga memainkan sentimen kebencian dengan mendakwa pemerintah China sebagai biang keladi persebaran virus Corona. Trump menuduh Pemerintah China sengaja menyebar virus ke seluruh dunia.

Menjawab tudingan Trump, diplomat China balik menuduh militer Amerika Serikat harus bertanggung jawab terhadap Covid-19, karena membawa virus dari sebuah laboratorium di Amerika ke kota Wuhan di China.

Tensi politik menegang, hanya berselang beberapa bulan dari meredanya perang dagang Amerika Serikat dan China.

Namun, situasi berubah ketika eskalasi persebaran virus Corona di Amerika Serikat meningkat drastis. Covid-19 menghantam Amerika Serikat, menjadikan negeri itu juga kelimpungan menangani banyaknya pasien Covid-19, sementara tenaga medis dan fasilitas kesehatan terbatas.

Belakangan, Trump meralat pernyataannya. Dia berbalik merangkul dan mengajak kerja sama China untuk membereskan tantangan Covid-19.

Kasus Covid-19 belum reda, Amerika Serikat diamuk gelombang kemarahan dan demonstrasi menyusul kematian George Flyoid, seorang warga kulit hitam Amerika, di tangan oknum polisi.

Kematian Floyd menjadi tragedi berulang, karena dua bulan sebelumnya seorang warga kulit gelap bernama Breonna Taylor juga meninggal akibat tindakan kekerasan serupa.

Jutaan orang turun ke jalan di beberapa kota di Amerika Serikat, mengutuk tindakan oknum polisi serta kebijakan rasial. Demonstrasi mengenang Floyd dan mengecam rasialisme meluas hingga ke beberapa negara Eropa.

Situasi yang menegangkan juga terjadi di Brasil, di bawah kepemimpinan Jair Bolsonaro. Pemimpin politik Brasil itu menganggap Covid-19 sebagai flu biasa, bisa dilawan dengan mudah, serta bersikap menolak fakta.

Bolsonaro mengingkari saran dari tim ahli dan saintis yang selama ini meriset perkembangan virus. Ironisnya, Bolsonaro juga menganggap krisis virus corona sebagai akibat dari trik media.

Bahkan, dalam sebuah wawancara di televisi Brasil pada 22 Maret 2020, Bolsonaro juga mengecam Wali Kota Rio de Janiero dan Sao Paulo yang mendorong warga untuk berdiam di rumah, mengisolasi diri, dan menjaga jarak dengan kerumunan.

Arus populisme politik

Virus corona menjadi tantangan besar yang menerobos batas negara. Negara-negara modern dan kaya tertatih-tatih menahan serangan persebaran virus.

Thomas Wright dan Kurt Campbell bahkan menyebut Covid-19 sebagai tantangan terbesar ketiga negara-negara setelah Perang Dingin.

Dampak Covid-19 bagi tatanan kehidupan dan interaksi negara-negara disebut tidak kalah mengerikan dibanding dengan peristiwa 11 September 2001 dan krisis 2008 (the Atlantic, Maret 2020).

Wright dan Campbell beranggapan, di tengah krisis Covid-19 para politisi yang selama ini menggunakan isu populisme sebagai kendaraan politik justru memainkan peran yang lebih merusak dengan aneka manuver.

Tatanan dunia sekarang ini, selepas satu dekade terakhir, lebih cenderung diwarnai bertumbuhnya otoriterisme, nasionalistik, xenophobic, unilateral, anti-kemapanan, dan anti-ekspertise.

Manuver populisme sejumlah pemimpin negara di berbagai belahan dunia menampilkan sikap mereka yang memainkan isu krisis sebagai tunggangan politik.

Mereka saling melempar hoaks dengan tudingan informasi. Batas antara hoaks dan pelintiran menjadi tersamar bahkan tidak jelas. Selain itu, para politisi populis cenderung mengesampingkan pendapat ahli dalam rujukan kebijakan publik mereka.

Di sisi lain, dalam skala yang lebih luas, para pakar dari berbagai bidang keahlian juga tampak hanya dijadikan batu tumpuan untuk legitimasi aspirasi politik dan hasrat kekuasaan.

Para ahli, periset, serta profesor dengan catatan publikasi ilmiah, ditempatkan sebagai stempel untuk memainkan ritme politik. Para ahli dan saintis sekadar dijadikan catatan kaki, ketika kebijakan dikhususkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Bagaimana di Indonesia?

Tantangan besar juga mengadang bangsa Indonesia dari persebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia terlihat agak kebingungan menghadapi efek berkelanjutan dari virus corona.

Bahkan, pernyataan publik dari masing-masing pejabat negara saling bertolak belakang.

Di samping itu, keterbukaan informasi dan data tentang Covid-19 masih dipertanyakan. Data dari pemerintah pusat, misalnya, tidak sinkron dengan data yang dipublikasi pemerintah daerah.

Belum lagi, minimnya tes (rapid test apalagi swab test) yang diselenggarakan pemerintah dengan berbagai kesulitan, menjadikan Indonesia termasuk negara dengan skala rendah dalam rangking persentase negara-negara dunia untuk tes virus corona.

Baca juga: [UPDATE] Data Kasus Covid-19 di DKI Jakarta per Kelurahan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang menyetujui paket anggaran Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19. Namun, seiring dengan restrukturisasi anggaran, pemerintah juga memotong anggaran Kementerian Riset dan Teknologi sebanyak Rp 40 miliar.

Beberapa pos anggaran lain juga menuai kritik dari publik, karena dianggap tidak tepat sasaran dan bias kepentingan elite.

Padahal, dalam situasi krisis karena hantaman pandemi Covid-19, dibutuhkan prioritas kebijakan dan anggaran riset untuk mendukung penelitian-penelitian.

Para periset harus mendapat prioritas dukungan untuk melahirkan hasil riset di bidang kesehatan, teknologi informasi, dan pengetahuan terkait, untuk antisipasi serangan virus di masa mendatang.

Covid-19 terbukti menjadi tantangan besar manusia masa kini. Dan, manuver-manuver populisme politik menjadikan situasi lebih menyakitkan. Jangan sampai karenanya rasialisme dan virus kebencian pun merembet ke Indonesia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Nasional
Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Nasional
Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Nasional
Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Nasional
Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Nasional
Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Nasional
MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

Nasional
Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Nasional
Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Nasional
Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | 'Dissenting Opinion' Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | "Dissenting Opinion" Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com