JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya mengambil sikap untuk menunda Pilkada Serentak 2020.
Tentunya, dengan persetujuan DPR dan Pemerintah.
"Kondisi pandemi yang belum juga mereda, serta persiapan kelanjutan pilkada di tengah pandemi yang masih jauh dari matang, hanya akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari," ujar Titi dalam siaran pers Perludem, Kamis (4/6/2020).
Pasalnya, kata Titi, kesimpulan rapat antara Komisi II DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada Rabu (3/6/2020), mengungkap fakta bahwa nggaran untuk biaya pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dengan protokol kesehatan ditengah pandemi Covid-19 belum ada.
Baca juga: Wabah Covid-19, KPU Usul Anggaran Pilkada Ditambah Rp 2,5 hingga Rp 5,6 Triliun
Sementara itu, pada kesempatan rapat tersebut KPU mengajukan usulan tambahan anggaran pilkada 2020 sampai dengan Rp 5 triliun.
Titi melanjutkan, RDP tiga pihak tersebut akhirnya menghasilkan tiga kesepakatan.
Pertama, sehubungan pelaksanaan Pilkada akan dibarengi dengan protokol pencegahan Covid-19, diperlukan penyesuaian kebutuhan barang dan atau anggaran, serta penetapan jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS) maksimal 500 orang.
Kedua, terkait penyesuaian kebutuhan tambahan barang dan atau anggaran untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, disetujui dapat dipenuhi juga melalui sumber APBN, dengan memperhatikan kemampuan APBD di daerah masing-masing.
Terkait hal ini, akan segera diadakan rapat kerja gabungan antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan penyelenggara pemilu.
Baca juga: Pilkada Saat Pandemi, KPU Kurangi Target Partisipasi Pemilih Jadi 77,5 Persen
Ketiga, agar terjadi efisiensi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, Komisi II DPR RI meminta penyelenggara pemilu untuk melakukan restrukturisasi anggaran yang dialokasikan untuk setiap tahapan Pilkada.
Restrukturisasi anggaran tersebut mesti diserahkan kepada Komisi II DPR RI dan Kemendagri sebelum rapat kerja gabungan diadakan.
Kesimpulan rapat juga menggambarkan secara terbuka bahwa anggaran tambahan untuk pengadaan alat kesehatan bagi penyelenggara pemilu masih akan dibicarakan kembali dengan menteri keuangan.
"Kondisi ini tentu saja mengherankan. Jika melacak keyakinan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk segera memulai kembali tahapan pilkada," ungkap Titi.
"Ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi langsung oleh para pemangku kepentingan kepemiluan ini," lanjutnya menegaskan.
Misalnya saja, bagaimana mungkin anggaran pengadaan alat protokol kesehatan dan biaya tambahan untuk penyelenggaraan pilkada sebagai konsekuensi dari penambahan TPS masih belum dapat dipastikan.